TIGS PULUH ENAM

334 16 10
                                    

Memar keunguaan disudut mata, bibir sobek dan sedikit bekas darah dibawah hidungnya dan sedikit diujung bibirnya, dibiarkan mengering dan tak berniat diobati.
Wajah datar tanpa ekspresi, Mata tajamnya natap kosong kearah langit dari atas balkon rumahnya.

Hari ini, hari dimana dunia menunjukan bahwa ia adalah laki-laki bodoh, egois dan tidak berguna.

Heru- papah Reynad. Pria paruh bayah itu kini sedang ditanganin dokter dirumah sakit. Lemah, wajah pucat, keringat dingin, serta darah merah segar yang terus mengalir dari hidungnya hingga mengotori baju yang dikenakannya, itulah kondisi terakhir Heru yang Reynad lihat.

Leukemia. Yap kanker darah. Itu yang dokter katakan pada Reynad. Dan ajaibnya, sampai separah ini Reynad baru mengetahui. Anak macam apa ia?

"Na ... nanti itu infeksi Rey lukanya kalo gak diobatin," Ujar gadis itu mendekat takut-takut, tangannya menggengam erat pada kotak obat yang sejak tadi dipangkuannya. Menunggu laki-laki yang ada dihadapannya itu, mau ia obati.

"Pergi." Usirnya penuh penekanan.

"Re ... Reynad, kenapa? A ... ada apa? "

"Pergi!" Usirnya, lagi.

"Rey ... Rey kenapa sih kamu gak bisa sedikit aja gak-"

"APA!" Bentak Reynad berjalan mendekat, hingga mengikis jarak yang ada diantara ia dan gadis yang berhasil menghancurkannya, lagi. Bella, yap. Gadis itu sedikit mundur kebelakang dan kilatan mata merah Reynad itu mampu membuatnya menunduk takut.

"Apa yang lo mau dari gua?" Jantung gadis cantik itu berdegup semakin kencang. Sungguh, tatapan mata tajam itu sangat mengerikan dimatanya.

"APA YANG LO MAU DARI GUA BELLA!" Bentak Reynad kembali mengulang kalimatnya. Wajahnya merah padam, tangannya mengepal hebat.

Bella tak menjawab, Tubuhnya gemetar. Kotak obat itu ia peluk makin erat, sangat erat.

Reynad melangkah mundur. Senyum miris tercetak jelas diwajahnya.
"Gua gak punya apa- apa. Apa yang mau lo cari dari gua?" lirihnya disusul kekehan pelan darinya pula. Masalah terus menerus menerpa tanpa henti. Papahnya sakit keras dan kini Lia memilih meninggalkannya, makin sempurna bukan kehidupan buruknya?

Laki-laki itu meraup wajahnya gusar, dan ...

PRANKKK!
"ARGGHHHHHH!"
Gelas kaca itu menghantam dinding, pecah berserakan. Ketika tangan kekar itu menghepas kasar benda apapun yang ada dihadapannya.
BRAKK!
Kursi kayu itu pun bernasib sama, patah tak berbentuk.

Seperti orang kesetanan? Terserah, Reynad tidak peduli. Tubuhnya melemas, cobaan ini terlalu berat untuknya. Mengapa semua dirampas kembali saat hatinya benar-benar percaya bahwa takdir bahagia yang ia pikir tidak akan pernah memihak kepadanya, kini dengan berbaik hati tuhan memberi bahagia itu melalui seseorang, mengapa secepat kilat itu pula kebahagiaan itu pergi darinya? Apakah ia memang benar-benar tidak pantas bahagia? Mengapa? Mengapa secepat itu pergi?!

Bella diam mematung saat melihat laki-laki itu begitu hancur. Matanya terasa mulai memanas, begitu sesak didada. Mengapa melihat Reynad hancur karna ditinggalkan oleh gadis selain dirinya terasa sangat menyakitkan, sangat-sangat menyakitkan?

"Sehancur ini?"
"Bukannya dulu yang kamu cinta itu aku Rey?"
"Gak mungkinkan kamu lupa?" gadis itu berkekeh pelan,

"Aku pikir setelah aku kembali kita bakal berjuang sama-sama lagi," senyum miris terukir diwajah cantik itu, air matanya lolos.
"Ternyata hasilnya nihil."
"Kamu udah gak cinta sama aku." Gumamnya pelan. Wajahnya menunduk dalam, menahan isak yang sangat menyesakan.
"Ini yang kamu bilang bakal selalu sama-sama gimana pun kondisinya?" Wajahnya terangkat, menatap iris mata tajam yang sendari tadi tak lepas jua menatapnya.

Reynad tersenyum remeh,
"Cinta? Lo minta cinta itu lagi, hmm?"

"Bukannya lo dulu yang paksa gua buat lupain cinta gua ke lo Bell? Bukannya dulu lo bilang gak butuh cinta dari gua? lo minta gua buat gak ganggu lo dan lo minta gua buat gak usah usik lo lagi, hm? Itu yang pernah lo bilang kegua,"
"Lo gak lupakan?"

Deg.

"Gua mohon-mohon supaya lo gak pergi dan gak mutusin hubungan 3 tahun yang susah payah kita bangun. Dan nyatanya apa? Lo gak sama sekali gak peduli dan tetep milih ninggalin gua demi cowok pilihan lo itukan." Paparnya.

Bella menunduk semakin dalam.

"Terus ... sekarang ini apa?" Reynad berjalan mendekat, menatap gadis yang kini tengah berusaha menyembunyikan isaknya.
"Lo bersikap sebagai pacar yang tersakitin?"
"Lo nuntut sampah yang udah lo buang?"

"Hey, kenapa nangis?" Reynad menghapus pelan jejak air mata gadis dihadapannya itu.
"Gua itu sampah. Emang gak jijik?"

Bella tetap tak menjawab, suasana kembali hening. Hanya tangis meledak gadis itu kini yang terdengar memenuhi ruang.

**

"Dari kejadian itu Bella gak pernah keliatan lagi. Dia gak pernah cari-cari Reynad lagi," ungkap laki-laki berambut cepak itu.
"Tiga mingguan lebih Reynad nemenin bokapnya dirumah sakit,"

"Hubungan mereka membaik."

Fiyuhh ...

"Syukurlah ..."
Gadis mungil itu tersenyum lega ketika mendengar hubungan antar orangtua dan anak itu kini sudah membaik, dan seharusnya memang begitu.

"Gua seneng pas tau kalo lo sama Reynad deket. Sekian lama akhirnya gua bisa liat Reynad senyum lagi, dan itu sama lo." Lia tersenyum kecil.

Nyatanya dia ninggalin gua- Lia.

"Dia gak ninggalin lo, dia cuma ragu sama perasaanya,"

"H ... hah?" Bisa denger?

"Mungkin, awal gua akuin Reynad memang bego." Lanjutnya.
"Dulu dia masih welcome pas Bella dateng. Karna jujur, dulu si bego itu masih belum bisa lupain Bella."

Deg.

"Gua sempet kaget pas liat Bella sekasar itu sama lo,"
"Yang gua kenal dulu Bella itu baik banget loh." Komentarnya.

"Setau gua hubungan mereka adem ayem aja,"
"Gua sempet mikir dua makhluk itu bakal pacaran lebih lama lagi. Karna emang dulu itu gua ilat mereka kek gak ada sesi berantem-beranteman." Lanjutnya lagi.

"Eh ... gak nyangka dia ninggalin Reynad karna cowo laen."
"Emang ya takdir gak ada yang tau. Pacaran lama-lama gak ngejamin bakalan setia." Lia diam, hanya mengangguk menanggapi ucapan laki-laki dihadapannya itu.

"Jadi?"

"Hah?"

"Cerita kek! Dari tadi ngangguk-ngangguk doang. Ngomong apa kek gitu."
"Tenang, mulut gua gak seember Doni kok,"

Lia tersenyum kecil membuat Rudy memutar bola matanya malas.

"Bodo amat ia bodo amat!"

Gadis itu malah berkekeh pelan melihat Rudy kesal karnanya.

"Rudy ..."

"Hmm?" Sahut laki-laki itu seraya menyeruput minuman yang sendari tadi ia biarkan.

Lia menghela nafas panjang, "Anter gua jenguk bokap Reynad yah,"


***

YEYYY BALIK LAGI...
maaf ya buat yang udah nunggu lama-lama sampe dm buat cepet-cepet Up:'
Otak author nya lagi konslet:(
author ngerasa kualitas nulis makin parah huaaaaaaaa...
Maaf bangett:'
Next apa ngak nih?

Tolong kasih pendapat ya buat part ini.
Jangan lupa vote+comment.
Sumpah author nunggu respon dari kalian:'

Selamat membaca.

-Author

AURELIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang