TIGA PULUH TUJUH

129 12 16
                                    

Dengan tumpuan batu besar yang dijadikan tempat duduk, gadis itu membuka lembar demi lembar novel yang ada digenggamannya. Sesekali menatap lurus hamparan air biru nan jernih dengan ombak yang datang lalu pergi. Semilir angin seakan menusuk tubuh, terus menghembus mengajak dedaunan yang juga turut ikut bergoyang.

"Lia ... " Panggil Adnan, laki- laki jangkung yang sendari tadi memperhatikan setiap inci wajahnya dari samping.

"Hmm," sahutnya pelan.

"Ada dua hati yang saling mencintai namun tanpa sadar saling menyakiti? Saling ingin melupakan padahal ingin bersama,"
"Sampai pada akhir keduanya memilih berpisah, padahal mereka sama-sama saling cinta."
"Menurut lo ... apakah perpisahan itu adalah jalan keluarnya?" Tanya Adnan tiba-tiba.

"Untuk apa dua hati berpisah jika saling mencintai?"
"Kalo sama-sama suka kenapa harus pisah? Bukannya itu nyakitin diri sendiri?" Jawab gadis itu seraya menghentikan aktivitas membacanya.

Adnan tertawa, ia menatap Lia dengan sorot humor "Terus lu kenapa?"

"Hah?" Lia memincingkan alisnya, "Apanya yang kenapa?" Tanyanya tak mengerti.

"Yaa lo kenapa malah milih perpisahan padahal masih cinta?"
"Kenapa lo keras kepala banget pengen ngelupain padahal lo tau dia enggak bakal bisa dilupain dengan mudah?" Cecar Adnan berturut-turut.

"Nan, please." tekan Lia,

"Kaya apa yang lo bilang, Kalo masih cinta kenapa harus pisah?" Sekak laki-laki itu lagi,

Yaa gadis itu diam. Atmosfer mendadak berat. Melihat Lia diam seketika membuatnya merasa bersalah, "Sorry Ia," ucapnya pelan.

Adnan menarik kepala Lia kedalam dekapannya. Tak ingin memaksanya untuk menjawabnya, kali ini Adnan lebih memilih memberi waktu untuk menjernihkan pikiran gadisnya dulu.

"Gua udah usaha semampu gua Nan," bisik Lia sakit,
"Bahkan bukannya gua lupa, malah itu yang bikin gua makin inget, tanpa sadar gua nyiksa diri gua sendiri." Dadanya terasa sesak saat air matanya susah payah ia tahan,

Adnan mengulas senyum tipis lalu mengusap pucuk kepala gadis itu lembut,
"Lia ... tau gak apa yang lebih nyakitin dari dicampakin?"

Gadis itu menoleh, "Hmm?"

"Merindukan sosok yang bahkan setiap harinya masih bisa lo temuin."

***

"Terang banget ya bulannya," ucap Lia memecah keheningan.
"Hmm," angguk laki-laki itu setuju,
Saat ini Adnan dan Lia berjalan-jalan ditepi pantai dengan kaki telanjang, merasakan sensai gelombang air yang berkali-kali terus membasahi kakinya.

Malam ini terasa cerah sekali. Bulan tampak bersinar dengan terangnya, begitu pula dengan bintang-bintang yang berkelap-kelip dengan indah. Waktu baru menunjukkan tujuh malam, sehingga warung-warung dipinggir pantai masih ramai dengan pengunjung. Ada yang bercengkrama ditepi pantai seperti dirinya, tapi kebanyakan makan jagung bakar sembari merasakan angin malam yang dingin.

"Lia ..."
"Besok gua berangkat ke surabaya," ujar Adnan, memulai pembicaraan.

"Tiba-tiba?" Sahut Lia terkejut.

"Hmm," dehemnya pelan.

"Liburan? Berapa lama?"

"Untuk waktu yang lama, kemungkinan gua bakal menetap disana nemenin oma." Jawab Adnan menatap gadis itu dengan senyum tipis. Gadis itu membisu, entah mengapa Adnan sedikit melihat ada kesedihan diwajah Lia.

AURELIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang