TIGA PULUH TIGA

260 14 5
                                    

Berjalannya waktu, dunia membuatku mengerti. Bahwa rasa sakit bukan milikku sendiri.

-Reynad-

Leukemia..

Mungkin beberapa orang tak terlalu asing dengan itu. Sejujurnya, Heru bahkan tidak pernah membayangkan jika penyakit itu ternyata dapat memasuki tubuhnya. Sejak beberapa tahun lalu, tepatnya saat dokter memvonis penyakit kanker darah ini positif bersarang ditubuhnya. Sejak saat itupun Ia mengalami dan menahan semua rasa sakitnya seorang diri tanpa sepengetahuan anak dan istrinya.

Sudah banyak sekali kebohongan kebohongan yang ia buat. Berkedok meeting diluar negeri atau sibuk mengerjakan proyek besar di luar negeri. Dengan cara itu Laki laki paruh baya ini menjalankan pengobatan rutin dan terapi di rumah sakit tanpa dicurigai. Sungguh, demi menyembuhkan penyakitnya ini yang semakin hari semakin parah. Tetapi nihil, ia sudah berusaha keras untuk tetap hidup untuk keluarganya. Sayang, pengobatan dan terapi itu bukan menyembuhkannya tetapi hanya menunda kematiannya saja.

Penyakit ini telah membawanya ke kehidupan yang semakin terpuruk, sejak saat itu sikap dan perlakuannya berbanding terbalik. Laki laki yang dikenal hangat dengan keluarga kini berubah menjadi tertutup, jarang berbicara, cepat terpancing emosi dan jarang sekali ikut kumpul bersama keluarga. Kesalahan terbesar, kesalahan yang sampai saat ini tidak bisa ia lupakan, kesalahan besar yang berhasil membuatnya dibenci penuh oleh anak semata wayangnya, Reynad.

Ia pun tak pernah berfikir bahwa itu mampu membuatnya kehilangan sosok yang begitu ia cintai pula. Santi, istrinya.

BRUKKK!
Terdengar suara botol berwarna kecoklatan bening terjatuh dengan pecah seketika dilantai, membuat suara yang cukup nyaring ditengah kesunyian rumah besarnya. Dengan kekuatan Heru yang masih ia miliki, Laki laki itu memungut satu persatu obat yang kini berserakan. Tangannya bergetar membawa butiran obat itu masuk dalam mulutnya. Sungguh tak ada yang pernah membayangkan jika seorang pengusaha besar Heru Erlangga, Seorang laki laki paruh baya Si penjahat hebat dimata anaknya kini tengah melawan maut seorang diri didalam kamarnya.

"Shhhhh.." terdengar ia mengerang dengan miris. Heru membawa tubuhnya dengan paksa untuk telentang. Air matanya mengalir. Rasa sakit itu masih sangat terasa mengerogotinya.

"Jangan sekarang tuhan..." kedua mata Heru menatap nanar langit-langit rumahnya. Tangan laki laki paruh baya itu tampak mengepal, mengerat pegangannya pada ujung kaos urang yang ia kenakam. Kembali, rintihan-rintihan itu terdengar. Wajahnya tertarik sedikit keatas, membuat sebuah lekungan senyum disela air matanya. Menyedihkan? Kata itu bahkan tak sepenuhnya dapat mengambarkan kondisinya saat ini. Heru sadar, betapa tidak bergunanya ia hidup didunia ini. Semua hilang, pergi dan lenyap.

"Hummpppphhh.." Napasnya semakin melambat. Sepertinya, ia sudah mulai lelah menanggung semua rasa sakit itu. Kini, Heru mulai takut. Ia takut tak akan bisa membuka matanya lagi jika ia menutup pasrah matanya. Jujur saja, ia belum ingin mati. Ia ingin membahagiakan anaknya terlebih dahulu. Setidaknya sedikit, agar Reynad tau jika papahnya disini masih bertahan untuknya.

"Aku.. aku.. belum ingin mati.."
Heru kembali mentitikan air mata yang sempat ia tahan. Kedua kelopak matanya itu sesekali mengatup, seakan sudah sangat lelah.

"Aku.. aku masih ingin.."

BRAKK!
Hentakan keras dari pintu kamarnya itu. Heru perlahan menoleh sebisanya. Menatap nanar sosok seorang laki-laki Duplikatnya yang kini tengah menatapnya dengan panik.

"PAPAH!!"

***


Menatap langit diatas balkon rumahnya dengan semilir angin seakan menembus tubuh. Laki laki itu meraup wajahnya gusar. Tanpa sadar sudah banyak batang rokok yang ia habiskan dalam kurang lebih satu jam. Kali ini cukup itu yang bisa menenangkan pikirannya tentang Papahnya dan tentang gadis mungilnya, Lia. Entahlah, masih bisakah gadis itu memaafkannya atau tidak? Ia sudah putus asa.

AURELIATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang