Katanya jatuh cinta itu indah
Jatuh? Indah?
Hoax deh.
Jatuh ketiban cireng itu indah
Baru good,
.
.
.Gadis itu lagi-lagi mendapati seorang laki-laki yang menjadi alasan hidupnya pulang dalam keadaan mabuk.
Hembusan nafas kasar terdengar membuat sang lelaki yang tengah mabuk itu memandang gadis tadi dengan risih.
"Apa?" Rumi-- si gadis tadi bertanya ketus kepada lawan bicaranya.
Dia Elang, seorang lelaki dengan tampang garang. Selalu berlagak sebagai sosok yang tangguh, padahal kenyataannya sedang sangat rapuh.
Laki-laki yang menjadi alasan Rumi hidup. Laki-laki yang menjadi alasan Rumi untuk tetap berpijak pada kerasnya kehidupan. Laki-laki itu adalah oksigen bagi Rumi.
"Tania," ucap Elang dengan suara paraunya. Usapan lembut mengerayangi pipi kanan Rumi. Tatapan Elang menyatu dengan mata Rumi yang sudah siap mengeluarkan air tanda kepedihan.
Usapan itu semakin lama semakin terasa. Dia memejam, begitupun Rumi. Seakan-akan rasa sedih dan bahagia bercampur dengan rata. Rumi sungguh bahagia. Lebih bahagianya bila namanya yang terucap oleh bibir hitam sang lelaki.
"Tania sayang," desis Elang dengan tangan yang masih setia membelai wajah Rumi. Usapannya semakin lama semakin memelan bersamaan dengan deru nafas yang tak beraturan.
Laki-laki itu tiba-tiba mejamkan matanya erat, mulutnya bergumam tak jelas dan diakhiri dengan geraman marah yang sukses mengagetkan Rumi. Detik itu juga badan Rumi limbung ke kiri. Usapan yang kian melemaha tadi bermetamorfosis menjadi tamparan keras.
Bibir Rumi bahkan sedikit robek karenanya. Rumi mendongak, menatap sang lelaki dengan tampang menantang.
"Lo bukan Tania!" Elang mulai menjambak rambutnya dengan kasar.
"Tania mana!?"
"Hah?!"
"Tania mana?!"
"Balikin Tania gue!"
"Tiara Abang kemana sayang?" Laki-laki itu luruh di depan tubuh Rumi. Air matanya tumpah sekaligus isakannya. Bahkan tangan kekarnya semakin memperkuat jambakan pada rambutnya sendiri.
Sekarang Rumi bisa apa? Dirinya malah menangis pilu dengan terus-terusan menghapus air matanya dengan kasar.
"Rambutnya jangan dijambak gini dong Bang." Rumi mencoba mengurai tangan Elang dari rambutnya. Elang pun merespon dengan keras. Tangannya malah beralih memukul wajah Rumi. Walau hanya dengan tenaga yang lemah.
"Lo bohong. Lo bukan Tiara!"
"Abang." Rumi mengelus kepala Elang dengan sayang. Menariknya sepelan mungkin sampai kepala itu terbenam di dadanya. Dengan tetap mempertahankan elusannya Rumi mengecupi puncak kepala Elang dengan sayang.
"Abang cari Tania ya?"
Elang mengangguk lemah. Mungkin tenaganya sudah banyak terkuras sedari tadi. Dengan sangat berat Rumi tersenyum pedih. Mencoba mengekspresikan rasa yang selama ini membuncah dalam pikirannaya.
"Rumi tau, Abang sayaaang banget sama Tania. Tania juga sama Bang. Dia juga sayang sama Abang. Selalu." Bahkan suara Rumi mulai terdengar bergetar. Sakit. Rasanya hanya sakit yang Rumi dapat rasakan sekarang.
"Kalo Tania sayang sama Abang. Dia bakal nurut sama Abang. Dia gak akan pergi ninggalin Abang." Suara lemah Elang kembali terdengar. Walau pilu.
"Tania pergi karena Tania bakal lebih bahagia disana Bang. Tania udah terlalu sakit di sini," papar Rumi dengan selembut mungkin. Dan sekarang rasa sakit itu semakin mendera. Sakit dan kecewa itu bahkan sudah beranjak menjadi benci yang membangun dendam.
Dan si dendam harus segera terbalaskan.
"Dia juga bakal kayak Tania kan Rum?"
"Iya," lirih Rumi walau sedikit ragu.
****
Dua laki-laki yang terpaut umur satu tahun itu tengah duduk bersantai sambil tatapannya fokus pada layar televisi yang menampakkan sebuah game yang sedang mereka mainkan.
Dia Bian dan Tama. Kakak beradik yang jarang menghabiskan waktu berdua. Tama yang saat ini sudah mulai sibuk untuk mempersiapkan ujian sangat jarang untuk bertukar cerita lagi dengan Bian. Dan saat-saat seperti ini adalah waktu yang dinanti Bian. Saat di mana esok adalah tanggal merah.
"Semua aja lo tabrakin Bang," degus Bian kesal melihat sang kakak yang bermain dengan sangat berutal membuat konsentrasinya sedikit pecah.
Tama terkekeh pelan. Memandang wajah sang adik dari samping. Wajah yang sangat ingin dan selalu Tama jaga. Wajah pucat yang penuh ekspresi. Wajah pucat yang terlihat lebih suka mengembangkan tawa daripada duka.
"Jangan ambil yang keju. Punya elo yang coklat." Bian kembali mengeluarkan suaranya. Melayangkan protes atas aksi anarkis Tama yang mencomot donat bertabur keju kesukaan Bian.
Dan seperti memperoleh lampu hijau di tengah lalu lintas. Tama dengan semangat membuka mulutnya dan memasukkan donat penuh pesona itu kedalam mulutnya.
Dan lihat ekspresi Bian sekarang. Matanya melotot dengan hidung yang kembang-kempis.
"Donat guee!"
"Keluarin dari mulut lo sekarang!" teriak Bian dengan penuh kekesalan. Saat ini Bian sudah seperti kerasukan arwah sang kekasih. Rumi yang dengan anarkis selalu berusaha mendapatkan hak dan keadilannya. Beralih pada Bian. Atau lebih tepatnya menular pada Bian.
Bian sudah nangkring indah di atas sofa. Menjepit leher Tama dengan kedua tangannya, lalu si donat malah memilih keluar dari dalam mulut Tama dan berakhir tergeletak tanpa tuan di atas lantai.
"Woy gue susah napas Yan."
"Gila lo Tong."
"Woy adek laknat. Lepasin." Tawa Bian lepas sudah. Wajah Tama yang sudah seperti ikan kehilangan air itu membuat badan Bian benar benar lemas.
Tama yang kembali mendapat lampu hijau langsung beralih posisi menjadi di atas Bian. Mengerayangi bagian perut Bian dengan jari-jari lentik tangannya.
"Mampus lo Yayan."
"Baaang! Ampun Bang, ini geli sumpah!" histeris Bian sambil tertawa walau agak ditahan.
Tama masih saja menikmati suara itu dengan tawa yang sama sama merekah. Sampai suara itu berganti membuat hati Tama berdesir sakit.
Bian merintih sambil meremas perutnya dengan mata memerah dan berair.
"Sa--ki-t."
"O--bat guee," ucap Bian sambil menunjuk-nunjuk perutnya. Tanpa menunggu aba-aba Tama segera berlari ke lantai atas. Berusaha mendapatkan obat apa saja yang bisa meredakan sakit Bian.
"Eh beneran?" tanya Bian polos saat mendapati sang kakak sudah berlari menjauh.
"Padahal kan cuma becanda," ucap Bian sambil meraih sebuah donat lagi dan memakannya dengan cukup lahap.
***
180420

KAMU SEDANG MEMBACA
ARBIAN
Ficção AdolescenteSenja dan Fajar Mustahil untuk bersatu Senja di barat Fajar di Timur Dan Mentari di pihak netral Senja dan Fajar emang enggak akan bisa menyatu. Tapi bisa saling melengkapi kan? Lalu Mentari?