06. Apanya yang pergi?

171 72 31
                                    

Cinta.
Sangat sederhana memang.
Asalkan ada dia yang dipuja.
Asalkan ada dia yang dianggap sempurna.
Cinta.
Akan jadi omong kosong semata.
Saat dia yang sempurna dan dipuja, memuja dia yang selama ini dia puja,
.
.
.

Gadis dengan rambut dikuncir satu itu tengah berjalan sendiri  menuju katin. Jam memang masih belum menunjukkan waktu istirahat, tapi lagi-lagi gadis pembuat onar itu harus didupak keluar kelas karena ketahuan makan saat Bu Rike--guru bahasa jawanya sedang menyampaikan materi di depan kelas. Jadi pilihan terbaik saat didupak dari kelas adalah beralih ke kantin. Tempat di mana kebahagiaan dunia berada.

Langkah Rumi terlihat santai saat melewati koridor di samping lapangan olahraga. Di lapangan itu tampak kelas XII yang entah kelas apa sedang melangsungkan olahraga basket.

Mulutnya yang selalu bersuara itu tak hentinya berkomat-kamit. Entah sedang menghafalkan mantra atau memang sedang mengucapkan mantra. Yang jelas apa yang sedang Rumi lakukan saat ini menjadi objek perbincangan beberapa siswa yang berlalu lalang di sekitarnya.

Rumi yang menyadari suara bisikan-bisikan memuakkan itu ditujukan untuknya bersikap acuh. Toh orang orang yang membicarakannya tidak tau apa yang sedang Rumi pikirkan adalah suatu usaha yang akan menunjang hidupnya.

Cara dapet gorengan lima tapi bayarnya cuma seribu. Kira-kira hal itulah yang saat ini tengah menyita seluruh perhatian Rumi.

Tepat saat khayalan Rumi bahwa aksi tak berakhlak nya nanti berhasil, sebuah bola basket tepat menghantam area punggung bawahnya. Bola basket yang dilempar dengan kekuatan super itu sukses membuat Rumi tersungkur dan berakhir dengan posisi jatuh yang sangat tidak manusiawi. Ringisan kecil mulai terdengar dari mulut Rumi. Membuat orang-orang yang menertawakannya tadi ganti memasang tatapan iba ke arahnya.

"Masih sehat Rum?"

"Waras lo gak akan rontok kan Rum?"

"Itu pantat lo kok jadi tepos ya Rum?"

"Dari dulu elah."

Sekarang Rumi sudah seperti maling yang tertangkap basah dalam aksi kriminalnya.

Dihakimi.

Bahkan posisinya saat ini masih begitu mengenaskan dan apa yang dilakukan mereka semua itu sama sekali tidak mencerminkan sikap peduli pada sesama.

"Ada orang jatoh ya ditolongin dong emak-emak tukang nawar di pasar, bukannya dihakimin kayak gini." Rumi berucap dengan kesal ke arah beberapa orang siswi yang berdiri di depannya. Melayangkan tatapan permusuhana yang malah dibalas dengan tatapan mengejek dari objek di hadapannya.

"Emang gak ada akhlak lo semua," ucap Rumi dengan mata yang melotot tajam.

"Emang," balas salah satu dari mereka. Beberapa siswi yang mulanya berdiam diri itu kemudian melanjutkan langkahnya.

"Males ah nolongin Rumi. Rumi suka rese soalnya."

Setelah itu, dengan segala kekesalan yang membuncah pada dirinya Rumi beranjak dari posisi jatuhnya. Berbalik ke belakang untuk menuju kelas, niat apiknya menghabiskan waktu di kantin tiba-tiba lenyap saat ini.

Saat tubuhnya sudah berbalik dengan sempurna nampak seorang laki-laki berpawakan tinggi dengan seragam basket tengah menatap Rumi dengan tajam.

"Maaf. Gue gak sengaja," ucap laki-laki itu dengan suara yang sangat datar. Didukung dengan tatapan matanya yang menusuk ke arah Rumi.

"Santai wae Bang kayak sama siapa aja." Rumi lalu berlagak seperti seseorang yang sudah benar-benar akrab dengan lelaki itu. Menepuk pundaknya sekali dengan cukup keras. Dan hal itu membuat si lelaki berdesis kesal lalu menepis kasar tangan Rumi.

ARBIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang