14. Ajaib

93 36 94
                                    

Dirimu itu berbeda
Semua tentangmu bagiku istimewa
Dirimu itu berharga
Dan salahkah jika diri ini mencintai indahmu dengan berbeda?
.
.
.
.

Laki-laki yang baru saja menghabiskan sabtu malam bersama sang kekasih itu tengah duduk bersila di lantai kamarnya.

Di depannya terlihat sebuah dompet kulit berwarna hitam yang sudah tak berisi.

Bian memandang nanar dompet tipis sekaligus uang receh yang berceceran di hadapannya.

"Dua puluh lima ribu lima ratus? Tadi yang gue ajak jalan orang apa bukan sih?"

"Bisa abis gini uang gue?"

"Niat sih bagus, nyenengin pacar! Tapi kenapa malah gini?!"

Bian meraup wajahnya frustasi. Jatah bulanannya yang harusnya masih cukup untuk dua minggu lagi malah ludes dalam satu malam.

"Huuuh kebanyakan mikir jadi haus kan. Rumi sih!"

Bian memunguti uang recehnya satu persatu. Karena rasa malas yang sudah membuncah dan rasa enggan untuk melihat betapa miskinnya dia saat ini. Bian langsung menyelipkan uang yang tak seberapa itu ke bawah bantal.

Tangannya menepuk bantal beberapa kali. "Kalian yang anteng yaa disini. Membelah dirilah sesuka kalian."

Setelah memastikan uang recehnya berada di tempat yang aman. Bian segera melangkahkan kakinya menuju dapur. Satu gelas air putih hangat yang diberi bubuk kopi dan gula mungkin bisa menenangkan pikirannya untuk saat ini.

Setelah sampai di lantai satu, Bian berjalan menuju dapur. Mengambil satu cangkir berukuran sedang kemudian mulai meracik kopi hitam kesukaannya.

Seketika aroma khas dari kopi hitam yang diseduh dengan air panas memenuhi indra penciumannya.

"Aduh panas juga ya," cicit Bian saat tangannya tak sengaja menyenggol badan cangkir. Alhasil cairan hitam yang lumayan panas itu ikut terguncang dan tumpah mengenai kakinya sendiri.

Badannya dengan otomatis menunduk. Mencoba mengapai kaki yang kulitnya sudah mulai kemerahan itu.

Dan sekarang secangkir kopi hitam itu mulai kehilangan perhatian pemiliknya.

Bian sendiri malah duduk bersila sambil mengangkat kaki kanannya mendekati bibir lalu meniup-niupkan angin yang sedikit mengurangi rasa perih pada kakinya.

"Sabtu malam minggu depan gue pastiin gue gak bakal mau jalan sama mak lampir itu. Udah uang abis, kena air panas pula. Heem hidup memang sekejam ini."

Bian bermonolog sambil mengelus-elus kakinya.

Saat dirinya ingin beranjak untuk mencari obat atau sesuatu lain yang dapat menghilangkan rasa perih di kakinya. Suara grusak-grusuk terdengar dari arah di mana lemari es dengan dua pintu berada.

Bian mengurungkan niatnya untuk beranjak. Mempertahankan posisinya yang sangat menguntungkan karena dapat dipastikan bahwa si pelaku tidak akan menyadari keberadaannya.

Suara grusak-grusuk kembali terdengar. Seperti seseorang yang tengah mencari harta karun di antara ribuan barang berharga.

"Ini pasti Rumi!"

"Eh bukan! Ini pasti utusannya Rumi."

"Maling makanan," desis Bian penuh keyakinan.

Bian mulai berancang-ancang berdiri. Dirinya harus segera memberantas sosok maling yang mengancam popularitas makanan.

ARBIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang