19. Bian

68 14 39
                                    

Bersamamu aku paham
Senyummu adalah membahagiakan
Setitik airmatamu adalah menyakitkan
Isi dompetku adalah acuan
Seberapa banyak cireng adalah pembuktian
.
.
.

Gadis dengan jaket kain berwarna coklat itu baru saja turun dari angkutan umum. Langkahnya riang menyusuri jalan untuk sampai di kantin sekolahnya.

Senyum lebar mengiringi gadis itu untuk memijakkan kakinya di lantai kantin. Sesekali mulutnya membalas sapaan dan ganti menyuarakan sapaan kepada beberapa orang yang dilewatinya.

Mata gadis itu memandang acak setiap obyek yang ada di lingkup kantin. Mengamati beberapa meja yang memperlihatlkan kehidupan di dalamnya.

Gadis itu masih saja mengedarkan pandangannya, berusaha mencari sosok yang sangat ingin dia temui.

Senyum lebar kembali terlukis. Gadis itu melangkahkan kakinya menuju meja yang dihuni oleh tiga orang laki-laki.

Kedua alisnya malah mengernyit bingung saat sampai di depan meja itu.

Menendang tulang kering sosok hitam manis yang memandang fokus ponselnya.

"Bian mana?" tanya Rumi tanpa basa-basi.

"Belum dateng," jawab Alan seadanya.

Gadis itu manggut-manggut lalu mengeser tubuh Alan dengan kasar agar menyisakan ruang untuk dirinya duduk.

"Si Alan," panggil Rumi sambil memandang Alan penuh makna.

"Apa?"

Rumi menunjuk seseorang yang duduk di hadapan mereka bertiga dengam dagunya. Membuat sosok berkulit putih itu bergerak canggung.

"Murid baru!"

Rumi bersorak. Bertepuk tangan dengan sangat heboh dan langsung beralih duduk di samping murid baru itu.

"Bintang?"

Laki-laki itu menggeleng mendengar panggilan Rumi. Mengulurkan tangannya dengan harapan dibalas dengan uluran tangan pula oleh gadis di hadapannya.

"Gue Bara."

Rumi menganggukkan kepalanya beberapa kali. Tangannya terulur untuk menjabat tangan sosok tampan di hadapannya.

"Gue Rumi. Arumi senja."

Gadis itu menggerakkan kedua alisnya naik turun. Bibirnya melengkung lebar memperlihatkan deretan gigi putihnya.

"Oke. Rumi!"

Setelah mengucapkan itu Bara mencoba menarik tangannya dari genggaman gadis di hadapannya. Tapi nihil sang gadis malah mempererat genggaman di tangan laki laki itu.

"Bara?"

Gadis itu berucap dengan tangan yang masih mengenggam erat tangan laki-laki tampan yang mulai menyunggingkan senyum canggung itu.

"Kenapa pergi?" tanya Rumi.

"Pergi?" tanya Bara kembali dengan wajah bingungnya.

ARBIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang