21. Jenguk Bian

37 5 2
                                        

"Semakin lama aku semakin paham. Kamu ada untuk aku. Aku ada untuk kamu. Kita bersama agar aku bisa menjaga kamu."
.
.

Kekasih itu pasangan. Tiga kata tersebut mungkin nenek moyang dari ungkapan 'sepasang kekasih'. Sepasang itu dua insan. Dimana ada dia dan kamu, tanpa embel-embel 'dia' yang lain, atau yang lebih parah mereka.

Sepasang kekasih itu harus berdua. Jika sesuatu menghalangi mereka, mungkin hal besar akan datang tanpa diundang dan perkiraan.
Diam berbaring dengan pandangan menyerawang kosong misalnya. Atau kemampuan bibir untuk membuka suara dan melekuk senyum mulai berkurang.

Laki-laki berbibir pucat dengan selang infus yang masih setia berteman dengan tangannya mungkin bisa menjadi contoh. Seorang pria yang kehilangan aura keceriaan karena kata sepasang seakan-akan perlahan diiris waktu.

Hampir seminggu lebih. Waktu yang panjang, dilalui oleh laki-laki itu tanpa sedikitpun melihat penampakan gadisnya. Keadaannya jauh dari kata baik-baik saja. Perlakuannya dengan beberapa orang terdekatnya juga lain dari biasanya.

Dingin, kaku, bahkan perlahan mulai membisu.

"Permisi Bapak,"

Suara halus dari sebelahnya tak urung membuat lamunan laki-laki itu buyar. Matanya masih menatap kosong kedepan.

"Waktunya minum obat Pak,"

"Pak,"

"Mau minum obat engga nih?" Suara perempuan itu mulai terdengar jengah. Bahkan hembusan napas berat terdengar seiring dengan deritan kursi yang beradu dengan lantai.

"Bapak pilih minum obat, apa minum marimas nih?"

Bian menoleh. Memandang sosok tak asing di depannya dengan tatapan mata penuh rindu. "Rum?"

"Saya suster pak. Bukan tukang nasi uduk! Yang Bapak maksud mbak Arum kan? Aduuh Bapak gimana sih? Masak udah lupa sama saya?" Perempuan itu mulai berucap panjang. Tangannya bergerak untuk membenarkan letak masker warna hitam yang menutupi setengah wajahnya.

"Gue tau ini elo Rum."

"Aissh penyamaran gue gagal kah?"

Rumi--gadis itu mulai melepas masker hitamnya. Tangannya juga bergerak untuk mengurai rambut panjang yang awalnya digelung dengan asal-asalan.

"Mana ada susuter pake seragam SMA, nawarin marimas pula," ucap Bian sedikit gemas.

Walau begitu, tatapan hangatnya terus mengisi mata yang awalnya hanya ada kekosongan di dalamnya.

"Lo mau? Segeeeer nih," tawar Rumi sambil mengusap bagian leher depannya. Tangan kanannya mengayun-ayunkan sebuah pelastik bening dengan cairan berwarna hijau dengan sedikit campuran es batu di dalamnya.

"Gue mana boleh minum begituan,"

"Sedikit aja masak gak boleh?"

"Maksa,"

Rumi terkekeh pelan. Meletakkan plastik berisi es rasa melon dengan posisi menyandar di atas meja. Badan gadis itu sedikit condong ke depan. Kepalanya bertumpu pada kedua tangan yang diletakkan di atas kasur, tepat di samping tangan Bian.

ARBIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang