09. Kotak hitam

134 63 32
                                    

Harapanku cuma satu
Kisah yang kujalin sedari dulu
Semoga tak berakhir semu
.
.
.

Langit sore yang mulai menguning menyejukkan setiap mata yang tengah menengadah memandangi langit setengah jinga berawan putih itu.

Sebuah rumah sederhana dengan cat berwarna hijau itu nampak meredup di bawah naungan setengah jinga dari sang langit.

Apalagi dia. Seorang gadis remaja yang sama sekali tak berwajah ceria. Wajahnya murung.

Matanya menatap malas sebuah kasur yang terletak di antara dua kursi di hadapannya. Kasur dengan bagian tengah yang basah membuat gadis berkuncir kuda itu mengumpat tiada henti.

Tangan kanannya dengan lemas memukuli kasur itu menggunakan sapu lidi yang mulai menua.

Disela-sela kegiatan membosankan itu, sebuah tangan hinggap melingkar di kepalanya menutup kedua mata sang gadis yang langsung dihadiahi sodokan keras dari sikut berteanaga kuat itu.

Ringisan kecil terdengar dari sosok laki-laki yang tengah meremas perut dengan badan membungkuk. Membuat sang gadis langsung menoleh dan meringis kecil saat menyadari siapa yang baru saja mendapat sodokan siku darinya.

"Sakit tha Bi?"

"Menurut anda?"

"Biasa aja."

"Biasa aja mbah mu!"

"Mbah mertua mu!"

Bian berdecak. Menormalkan posisi badannya lalu memasang wajah yang seakan-akan sangat serius.

"Gak kangen?"

"Enggak," jawab Rumi dengan polosnya. Bian mendegus.

Bibirnya mengerucut tanda dirinya sekarang tengah memasang mode marah.

Sementara Rumi yang masih berdiri di hadapan Bian terkikik senang. Baginya wajah cemberut sang kekasih adalah hiburan. Dan hiburan itu akan sangat jarang datang.

"Dua hari lebih gak ketemu. Ya masak gak kangen sih sama pacar kesayangan ini."

Rumi merentangkan tangannya sambil tersenyum lebar. Membuat Bian yang mulanya dalam mode marah itu ikut-ikutan menarik kedua ujung bibirnya. Dilanjut dengan kedua tangan yang merentang lebar.

Keduanya saling tatap tanpa ada yang mau mengalah untuk melangkah lebih dekat dan mendahului untuk mendekap orang yang berdiri di hadapannya.

Hening beberapa saat.

Lalu keduanya tertawa keras dan dengan kompak menurunkan kedua tangannya yang awalnya sama-sama merentang.

"Najis."

"Ngilani."

Keduanya masih sama-sama tertawa. Sampai sebuah sandal jepit dengan ukuran cukup besar mendarat di samping kanan Rumi.

"KALIAN DIEM YA! ANAK GUE JADI REWEL INI!"

Suara teriakan dengan suara cempreng itu sukses membuat Rumi dan Bian meringis di tempatnya.

ARBIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang