07. Marah

153 70 27
                                    

Saat ini Bian tengah terbaring di ranjang UKS dengan seorang gadis yang duduk di kursi samping ranjang. Wajahnya terlihat damai walau kata pucat tak bisa terelakkan dari wajah tampannya.

Saat ini jam menunjukkan waktu istirahat kedua berlangsung.

Rumi sudah duduk terdiam sambil memandangi wajah sang kekasih sejak bel tanda istirahat berbunyi. Sudah cukup lama, tapi gadis itu enggan untuk beranjak dan mengikuti pembelajaran, walau sang kekasih sudah menyuruhnya untuk kembalia ke kelas puluhan kali.

Rasanya sangat tak masuk akal bagi Rumi. Saat sang kekasih tengah terbaring lemah dan dirinya dengan tega meninggalkan dia di ruang UKS yang sangat sepi ini.

Selang beberapa menit Rumi memperhatikan kedua kelopak mata Bian yang perlahan terbuka. Memperlihatkan lingkaran hitam yang selalu memancarkan kehangatan bagi yang ditatap.

Dan Rumi akui, tatapan dari manik hitam legam itu berhasil membuat dirinya semakin terjatuh setiap detiknya. Terjatuh dan terjatuh entah untuk berapa ratus kali.

"Rum," lihan Bian membuat Rumi tersadar dari kekagumannya. Matanya mengerjab. Dilanjut dengan cengiran lebar yang sebisa mungkin Rumi tunjukkan untuk kekasihnya.

"Masih pusig gak?" tanya Rumi setelah berhasil kembali terjun ke dunia nyata. Matanya terus memandang lelaki di hadapannya dengan lekat.

Wajah pucat.

Wajah pucat yang beberapa hari ini mulai tenggelam kembali lagi.

Wajah pucat yang selalu Rumi benci.

"Enggak kok."

Rumi merespon jawaban Bian dengan mengangguk-aggukkan kepalanya. Rasanya sedikit tenang. Namun, ketenangan Rumi kembali terusik. Saat sang kekasih mengeluarkan ringisan kecil sambil meremas bagian perutnya dengan keras.

Selang beberapa detik Rumi beranjak dari duduknya, berdiri dan langsung mengurai tangan Bian yang setia meremas bagian perutnya.

"Jangan di giniin Bi. Nanti tambah sakit loh." Tangan Rumi beralih untuk mengelus bagian perut Bian yang masih tertutup baju.

Sesekali dirinya ikut meringis membayangkan apa yang saat ini sedang dirasakan oleh kekasihnya.

"Lagian bandel banget jadi orang. Disuruh pulang juga gak mauk!" Rumi berkata ketus yang dihadiahi cibiran oleh Bian.

Beberapa detik berselang. Suara langkah dari arah pintu masuk mengalihkan perhatian Bian dan Rumi.

Di sana, di depan pintu nampak seorang lelaki berpawakan tinggi dengan rambut yang disisir rapi berjalan ke arah lemari tempat obat.

Dia--lelaki ber name tag Riko Bastian itu seketika menoleh ke arah ranjang di mana tempat Bian sedang berbaring.

Sisi kanan dan kiri ranjang yang di tempati Bian memang tertutup dengan gorden tapi sisi depannya senga dibuka oleh Rumi entah dengan alasan apa. Riko berhenti sesaat melihat ke arah Bian dan Rumi dengan pandangan yang tajam dan menyelidik.

"Biasa aja lah liatnya. Gue tau gue cantik," ucap Rumi memecah hening yang menyelimuti ruang UKS itu.

"Najis lo Rum." Komentar Bian tajam yang diakhiri kekehan karena melihat raut tak suka dari Rumi.

"Lo bukannya yang dilemparin bola sama Tama tadi pagi?" Suara datar dari lelaki berwajah datar itu berhasil membuat Bian terpaku sesaat.

Dilemparin.

Tama.

Setelah menyempatkan diri untuk melihat ekspresi sang kekasih Rumi beralih menatap Riko dengan tajam.

ARBIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang