20. Ibu

59 10 23
                                    

Detik terus melahirkan menit
Hingga waktu perlahan mengikis
Fajar terus menabung rindu
Namun senja tak berujung temu

.
.
.

Ruangan bernuansa putih ini masih setia menemani seorang remaja laki-laki yang tengah terbaring di atas ranjang rumah sakit.

Laki-laki berbibir pucat itu menoleh ke arah kanannya. Di sana terlihat seorang laki-laki tengah duduk bersandar pada sebuah sofa di samping ranjang.

"Kak!"

Tama medongak menatap Bian yang sekarang berusaha bangkit dari posisi berbaringnya. Laki-laki yang mengenakan jaket kulit berwarna hitam itu langsung berlari mendekati sang adik.

"Kenapa?" tanya Tama sambil membantu sang adik untuk duduk. Tangan kekar Tama bergerak untuk mengelus surai hitam sang adik. Senyum hangat menenangkan milik Bian langsung tercetak setelah mendapatkan perlakuan lembut dari kakaknya.

"Gue boleh minta tolong?"

Tama mengangguk. Mendudukkan tubuhnya pada kursi yang disediakan di samping ranjang. "Boleh," jawab Tama singkat.

"Gue pengen ketemu Rumi."

Tama berdecih kasar. Sebelah tangannya meraup wajahnya sendiri diiringi dengan hembusan nafas yang terdengar berat.

"Gak."

"Tapi kak--"

"Gue bilang gak ya gak Bian!"

Laki-laki berbibir pucat itu menoleh ke arah sang kakak. Sorot kecewanya nampak sangat kentara. "Kenapa?"

"Kenapa lo selalu ngelarang gue buat ketemu Rumi?"

"Karena dia bukan cewek baik baik."

Hembusan nafas kasar terdengar dari keduanya. Bian memandang Tama dengan sorot memohon.

Tama acuh. Memalingkan kepalanya ke arah kanan. "Dia udah bawa pengaruh buruk buat elo Bi."

"Apa?"

"Karena dia elo selalu nentang gue. Dan sekarang apa? Penyakit elo tambah parah kan?"

Gemuruh hebat seketika melanda diri laki-laki berbibir pucat itu. Dirinya mengeram marah dengan kedua telapak tangan yang mengepal luat.

"Gue udah mau minum obat. Gue udah mau disuntik. Bahkan gue mau berhari hari di rumah saki. Apa gue masih nentang elo kak."

Tama tersenyum sinis. Matanya menyorot Bian dengan sorot mata meremehkan.

"Elo sekarang gak nentang gue Bi. Karena apa? Karena lo gak berhubungan sama dia."

Bian semakin geram. Kedua tangannya terangkat untuk mengacak rambutnya frustasi. Bibir pucat laki-laki itu bergerak mengumam. Mengumamkan segala kata serapah untuk sang kakak.

"Ini gak ada hubungannya sama Rumi kak."

Tama menyunggingkan senyum sinisnya kembali. "Jelas ada Bian."

ARBIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang