22. Memilih

41 5 24
                                    

"Aku lemah. Bahkan untuk menampung masalahmu pun rasanya aku tak pantas."
.
.

Lorong rumah sakit yang awalnya sepi berubah jadi ramai. Suara langkah kaki dan tawa memenuhi sepanjang jalan menuju kamar rawat dengan dua kursi panjang di depannya.

"Masuk sana!" suruh Bara sambil mendorong tubuh Digo kencang-kencang.

Laki-laki berkulit putih itu mendelik. Memandang Bara dengan pandangan tak terimanya. "Kok gue? Elo lahh yang duluan," ucap Digo menggebu.

"Kan gue anak baru," ucap Bara sambil menyedekapkan tangannya.

"Apa urusannya dodol?" tanya Digo sewot.

Bara nyengir polos, menggaruk tengkuknya yang terasa sedikit gatal. "Kan yang bawa bingkisannya elo Go! Yaudah elo dulu yang masuk," paksa Bara sambil mendorong-dorong tubuh Digo yang lumayan besar.

"Yaudah nih bawa aja! Lo dulu berarti." Digo memberikan bingkisan itu kepada Bara. Membuat laki-laki berparas tampan itu menerimanya dengan terpaksa.

"Hampir aja jatooh Go," desis Bara. Tangannya mengangkat plastik hitam itu tinggi-tinggi. Meneliti apakah plastiknya masih utuh atau tidak.

"Coba aja kalo jatoh, ambyar lah." Terus Bara setengah kesal.

"Lagi juga. Jenguk orang sakit bawa buah gitu, lah ini malah bakso!" Digo ikut-ikutan mendegus.

Merasa kesal dengan pilihan akhir sahabatnya. Dari buah-buahan, roti, biskuit, bubur, martabak, marimas, mi goreng, malah bakso dengan banyak kuah yang menjadi pilihannya.

"Gue tadi kan bilangnya bawa buah aja! Salah siapa jadinya beli bakso," bela Bara sambil menyodorkan plastik hitam itu ke arah Digo. Dan sengan terpaksa laki-laki setengah China itu menerima bakso kuah panas itu.

"Gue tadi bilang beli roti aja padahal," ungkap Digo sambil berpikir. "Alan nyuruh beli bubur," lanjutnya masih dengan berpikir.

"Mak lampir niih pasti!" Tuding mereka berdua.

Sementara Rumi yang awalnya terpejam di boncengan Alan tiba-tiba bersin dengan keras. Membuat motor yang dikendarai Alan sempat oleng sebentar. "Apaan tadi?" tanya Alan cengo.

Sebelah tangannya lalu terulur mengelap kaca spion motornya yang tiba-tiba saja berembun. "Haiiis. Angker,"

"Emang aliran sesat tuu cewek," ucap Digo menghakimi.

"Yaudahlah udah terlanjur juga."  Final Bara akhirnya.

Keduanya lalu sama-sama saling tatap. "Masuk duluan sana!" suruh mereka berdua bersamaan.

"Loo lah. Kan yang lebih tua," ucap Digo sambil menyerahkan bungkusan bakso ketangan Bara.

"Lo aja. Takuuut gue," desis Bara.

Digo memutar bola matanya jengah. "Apalagii gue," balas Digo frustasi. "Andai aja ada Alan," lanjut Digo sambil menerawang.

"Takut apa emang?"

Keduanya menoleh serempak. Mulutnya terbuka kompak dengan mata yang saling melirik. "Takut disuntik," jawab Digo asal.

"Iyaa Kak. Takut disuntik niih," lanjut Bara sambil menggaruk kasar tengkuknya.

ARBIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang