16. Pergi

119 33 87
                                    

Kataku, yang namanya perasaan jangan dipaksakan. Apalagi di gandakan
.

.

Langit yang awalnya menguning teralihkan menjadi biru kehitaman.

Laki-laki dengan jaket kain warna coklat itu berjalan keluar dari dalam rumahnya. Matanya menajam memandang sosok perempuan yang tengah duduk diteras membelakangi dirinya.

Gadis dengan rambut panjang berwarna hitam itu terlihat sangat sibuk menggoreskan pena di atas permukaan beberapa lembar kertas yang terlihat berceceran memenuhi meja.

"Lagi nulis apa Tar?"

Tari tersentak kaget. Buru-buru tangannya mengumpulkan kertas-kertas yang berserakan itu dan segera memasukkannya kedalam kantong keresek berwarna hitam.

Tari mendongak menarap Bian yang sudah berdiri tegak di hadapannya. Memandang Bian dengan raut wajah gugup yang sangat kentara.

Sementara Bian hanya mengernyitkan dahinya bingung. Memandang menelisik ke arah Tari yang menautkan kedua tangan di atas pangkuannya.

"Bian? Gue kira lo gak ada dirumah," ucap Tari dengan nada yang nampak ragu. Bian semakin mengernyitkan dahinya. Melangkah untuk duduk di kursi yang masih kosong. Mereka berdua duduk berdampingan dengan meja bulat yang menjadi penghalang antar keduanya.

"Lo kenapa sih?" tanya Bian penasaran.

"Gue ... gue gak papa."

Bian mengangguk kan kepalanya dua kali sambil membulatkan mulutnya.

"Ngapain di sini sendirian?"

Tari menoleh memandang wajah menenangkan milik Bian. Menggaruk keningnya sebentar sebelum mulutnya membuka untuk menjawab pertanyaan sahabatnya ini.

"Gue nungguin Kak Tama sama Sasa," jawab Tari tanpa memandang ke arah Bian.

"Emang mereka kemana?"

"Lagi cari perlengkapan buat nga--"

Gadia cantik bersurai panjang itu tiba-tiba membekap mulutnya sendiri. Hal itu kembali membuat sahabat lamanya mengernyit bingung.

"Nga? Nga apa?" tanya Bian lagi.

"Nga tau Bi," jawab Tari sekenanya.

Tari kembali menggaruk keningnya. Menoleh ke arah Bian yang ternyata juga tengah memandang dirinya.

"Nga tau?" tanya Bian aneh. Laki-laki itu terkekeh kecil yang membuat Tari yang sudah sangat kegerahan karena gugup ini ikut ikutan tertawa.


"Lo aneh banget sih Tar?"

Gadis itu memasang cengiran yang terlihat sangat terpaksa. Matanya meneliti penampilan Bian yang terlihat lebih rapi dari hari-hari biasanya. "Lo mau pergi?"

Bian terjengkit kaget. Sebelah tangannya menepuk keningnya keras. "Gue mau kerumah Rumi. Aduuh sampek lupa kan."

Tari masih terus memandangi Bian. Sorot matanya nampak sayu. Bibirnya melengkungkan senyum pedih yang sangat berusaha disembunyikan.

ARBIANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang