"Pasti ini semua ulah lo kan?" tuduh Erina kesal.
"Apasih? Ulah apa?" tanya Hasan untuk memastikan apa yang Erina maksud.
"Lo yang mengajukan diri jadi tentor remedial gue ke Pak Muslih kan?! Biar lo puas ngetawain gue kan?!" tanya nya dengan nada yang agak tinggi. Untungnya koridor sudah sepi dan tidak ada lagi yang berlalu lalang. Jadi Erina tidak perlu takut menjadi bahan tontonan anak anak.
Hasan yang masih sabar dengan Erina akhirnya mencoba berbicara baik baik. Memang sih, selama hampir satu tahun lebih ia sekelas dengan Hasan, lelaki itu tidak pernah marah atau bahkan sampai membentak perempuan. Hasan itu tipe lelaki penyabar. Hampir sama seperti Randy.
Sambil memegang kepala Erina. Hasan mencoba mencairkan suasana yang sudah tegang karna Erina terus terusan ngomel. "Erina, sekali sekali lo harus cuci nih otak lo yang udah terlalu benci sama gue. Biar bisa berfikir positif tentang gue."
Erina menepis tangan Hasan dari kepalanya lalu memandang lelaki itu dengan tajam.
"Lagian ya, kenapa sih kayaknya lo sensi banget sama gue? Sensi karna gue ini emang bisa nyaingin lo atau gimana sih? Coba dijelasin rin. Gue masih nggak paham. Kalaupun lo sensi karna itu, sumpah gue nggak paham lagi. Padahal gue cuma saingin lo disatu mata pelajaran."
"Terserah, gue nggak perduli. Pokoknya lo harus bilang sama Pak Muslih kalo lo mau mengundurkan diri jadi tentor gue," ucap Erina sebagai keputusan finalnya.
Erina membalikkan badannya. Berniat meninggalkan Hasan dan segera memesan ojek online agar bisa cepat sampai ke rumah karna ia rasa otak nya hampir meledak sebentar lagi. Tidak perduli ayahnya akan memarahi Randy atau apapun itu kemungkinan terburuknya. Tapi tiba tiba laju jalannya terhenti karna Hasan ada dihadapnnya sekarang.
"Gue nggak mungkin narik omongan gue sama siapapun. Dan kalau lo sadar juga, tadi Pak Muslih bilang kenapa dia pilih gue sebagai tutor lo karna nilai gue paling tinggi dikelas. Jadi pahamkan? Itu bukan atas kemauan gue." Jawabnya atas pertanyaan Erina tadi. Lalu Hasan mundur perlahan sampai tubuh Erina menabrak dinding.
Hasan membungkukkan badannya agar bisa melihat wajah Erina dengan jelas. "Emang kenapa kalau gue tutorin lo? Takut jatuh cinta?" tanya Hasan dengan wajah tengilnya.
Erina menyeritkan dahinya bingung dengan ucapan lelaki itu.
"Atau lo ngerasa kalau akan terjadi sesuatu sama kita?"
Erina mendorong tubuh Hasan agar menjauh dari nya. "Nggak usah kepedean jadi orang."
"Kalau omongan gue itu nggak bener, buktiin dong. Nggak masalah dong gue jadi tentor lo selama lo nggak ngerasain apapun selama deket sama gue?"
Benar juga. Harusnya Erina tidak perlu khawatir tentang itu. Selama tidak ada apapun dengan mereka berdua.Selama Erina sibuk dengan pemikirannya, Randy terus terusan menelfonnya dan Erina mengabaikannya.
..........
Randy melangkahkan kakinya menelusuri koridor sekolah. Sesekali mengarahkan pandangannya ke sekeliling. Randy melihat jam tangannya yang menunjukkan pukul enam sore. Biasanya Erina sudah bersiap dari jam lima sore didekat lapangan agar langsung menyeret Randy untuk segera pulang.. Tapi sekarang gadis itu malah tidak terlihat. Dibantu oleh Hasan, Hamka dan Naufal yang juga mengecek kelas satu persatu. Wajah Randy semakin panik ketika ponsel Erina tidak kunjung aktif.
"Tenang dulu ren. Coba hubungi orang rumah deh," saran Hasan saat melihat Randy terduduk lemas dipinggir lapangan.
Randy langsung mencari kontak bundanya. Tapi tidak juga diangkat. Lalu menelfon abangnya. Robi bilang ia malah belum sampai rumah karna terjebak macet karna jam pulang kerja memang rentan dengan macet. Tubuh Randy semakin lemas saja karna tidak ada yang tau dimana keberadaan Erina saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heal My Wound
Teen FictionHasan Alvaro Wirasena, lelaki dengan sejota pesonanya. Pintar pada bidangnya. Selalu membuat siapapun yang ada didekatnya akan merasakan nyaman karna sifatnya yang menyenangkan. Tapi kalimat "membuat siapa saja nyaman berada didekatnya" tidak berlak...