Sudah lama tidak bermain musik membuat jari Hasan agak kaku saat memetikkan gitar. Dulu, Hasan sangat cinta pada musik. Bahkan waktu SMP ia mengiringi teman nya membaca puisi saat ada lomba ataupun acara sekolah. Kata orang, Hasan multitalenta karna bisa banyak hal. Tapi menurutnya itu semua ia lakukan karna iseng saja.
Karna terlalu asik bermain gitar, tidak sadar kalau dari tadi handphone nya bergetar. Saat melihat sudah ada banyak chat masuk dari teman temannya. Semua teman temannya bertanya kenapa Hasan belum menunjukkan batang hidungnya sedangkan tas nya sudah ada di kelas daritadi pagi. Karna Hasan langsung pergi ke ruang music setelah balik dari budeh tanpa mampir ke kelas.
Saat sedang membalas chat, pintu ruang musik terbuka. Erina masuk dengan wajah tanpa ekspresi. Tidak heran sih. Biasanya juga seperti itu. Hanya saja, Hasan terlalu jarang melihat Erina tersenyum. Bahkan bisa dibilang tidak pernah. Entah apa yang membuat gadis itu menjadi manusia dingin selain dengan keluarganya. Sangat berbeda dengan Erina yang semalam berbicara dengan Randy. Erina ini tipe tipe cewe yang bisa dibilang don't judge book by cover. Wajahnya itu bisa dibilang sangat imut. Dengan hidung lancip, kulit putih kemerahan dan tak lupa poninya yang super menggemaskan. Orang tidak akan menyangka kalau ternyata aslinya Erina itu menyeramkan. Kalau tidak kuat, pasti akan sakit hati setiap kali mendengar gadis itu berbicara.
"Kenapa minta ketemuan? Tempatnya privasi kaya gini lagi. Kangen tapi gengsi karna nggak mau orang tau?" tanya Hasan dengan menaik turunkan alisnya. Erina yang berdiri dihadapan lelaki itu mencoba menahan emosi karna Erina akan butuh bantuan lelaki itu untuk tugas remedialnya nanti.
"Udah deh, gue lagi nggak mau ribut sama lo. Jangan mancing mancing."
Hasan tertawa keras saat mendengar jawaban Erina. Sambil menaruh gitar ke posisi semula, lalu menarik tangan Erina untuk duduk disampingnya. "Duduk kali. pegel amat liat lo berdiri."
Erina akhirnya duduk disamping lelaki itu sambil mencoba berfikir bagaimana cara menjelaskan maksudnya pada lelaki itu.
"Kenapa?" Tanya Hasan sekali lagi. Karna tadi belum mendapat jawaban dari gadis itu.
Erina berdeham. " Tugas remedial sejarah gue."
"Ohh iya. Kenapa? Lo tetep nggak mau gue tentorin?" tuduh Hasan.
Erina langsung menatap Hasan dengan sorotan tajam. "Bukan itu maksudnya."
Hasan menunggu Erina berbicara. Tapi gadis itu tidak juga mengeluarkan sepatah katapun. Akhirnya Hasan berdiri untuk segera keluar dari ruang musik. "Udah ah gue mau main bola aja sama yang lain."
Erina akhirnya mencegah Hasan untuk keluar. Ia kesal pada dirinya sendiri kenapa untuk mengatakan tolong pada Hasan saja susahnya setengah mati.
"Oke oke. Gue minta tolong lo bantuin bikin vidiografi sejarah itu. Minta tolong pake banget," ucapnya tanpa memandang mata teduh Hasan. Gengsi banget. Padahal ia bisa saja mengerjakannya sendiri. Tapi karena pak muslih minta data laporannya ditambah tanda tangan Hasan, Erina jadi tidak bisa memanipulasinya.
Hasan yang tetap pada mode tengilnya menundukkan badannya dan memajukan telinga nya. Pura pura tidak mendengar apa yang Erina katakan. Karna kesal, Erina spontan mendorong tubuh Hasan sampai lelaki itu hampir terjungkal kebelakang.
"Coba coba ulang. Nggak denger nih tadi minta tolong apa. Jarang jarang Erina minta tolong."
Erina langsung menunjukkan wajah bete nya. Mau marah tapi harus ditahan tahan demi nilainya. Karna sangat sangat sayang mendali emas olimpiade nya tahun lalu kalau cuma gara gara sejarah ia tidak bisa ikut jalur undangan untuk masuk universitas negri. Bagaimanapun, semua pelajaran tidak boleh ada yang dianggap remeh. Itu yang selalu Erina tanamkan sejak dulu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Heal My Wound
Teen FictionHasan Alvaro Wirasena, lelaki dengan sejota pesonanya. Pintar pada bidangnya. Selalu membuat siapapun yang ada didekatnya akan merasakan nyaman karna sifatnya yang menyenangkan. Tapi kalimat "membuat siapa saja nyaman berada didekatnya" tidak berlak...