FurongPOV
Hari ini diriku akan menikah. Ya, menikah tapi aku tak tahu siapa yang akan ku nikahi. Sudah menjadi keputusanku kalau aku akan menikahi Albert tetapi dari dalam diruku masih memdambakan kehadiran sosok Mingli yang datang menyelamatkan diriku dan menjadi pengantin priaku.
Aku lebih memilih memakai gaun pemberian Mingli. Ku kenakan semuanya. Ketika semuanya beres, terdengar lagi suara terompet pengiring rombangan pernikahan dan kali ini terdengar lebih jelas menungguku keluar serta membawaku pergi dari kediaman ini.
"Apa sudah siap, nona Chen?" Tanya mak comblang suruhan Albert dari luar kamarku.
"Iya" jawabku singkat tak bersemangat.
Kusimpan bilah belati dalam genggamanku ke dalam saku bajuku. Telah kuputuskan meskipun terdengar egois, aku akan mati saat itu juga bila dia berani mencoba menyentuhku. Aku memang sudah memutuskan itu sejak awal kalau diriku tak berhasil menusuknya ketika dirinya menyibak penutup kepalaku akulah yang akan mati dihadapannya. Setidaknya ini dapat menjaga selamanya kemurnian cintaku pada Mingli.
Mak comblang itu membuka pintu, dia segera menghampiri diriku. Dia menggendongku sepanjang perjalanan keluar dari kediaman keluargaku. Samar-samar kulihat niang menangisi kepergianku, disampingnya jie-jie juga demikian sedihnya sementara ayah memandang ke arah lain mungkin masih marah dengan keputusanku.
Mak comblang itu kini membinbingku menuju ke dalam tandu. Niang dan jie-jie meneriaki namaku untuk terakhir kalinya, setelah itu tandu mulai berjalan meninggalkan keluargaku. Bunyi terompek, gong dan iring-iringan pernikahan berbunyi keras setelah mercun dinyalakan memekakan telingaku.
Sepanjang jalan kenangan kebersamaanku dengan Mingli selalu terlintas di benakku. Air mata tak dapat ku bendung lagi, ia mengalir tak karuan membasahi pipiku.
Saat-saat dirinya untuk pertama kalinya bertemu denganku . . .
Saat-saat dirinya mengatakan impiannya sejak kecil . . .
Saat-saat dirinya memelukku menenangkan diriku . . .
Saat-saat dirinya menciumku menyatakan perasaannya . . .
Semua kenangan itu semakin menambah nyeri di dadaku, kuelus dadaku yang terasa sakit.
Bunyi iring-iringan pernikahan semakin terdengar keras, namun kali ini bunyi tersebut tak seirama. Sepertinya ada rombongan lain yang berpapasan dengan rombongan ini. Ku sikat penutup kepalaku, ku tatap keluar. Ternyata benar rombongan ini sedang berjalan melewati rombongan lain, aku menutup penutup penutup kepalaku kembali hanyut dalam kesedihanku sendiri.
------
Tandu berhenti tepat ketika terompek dibunyikan sekali, kelihatannya kami sudah tiba di depan kediaman Albert. Ku eratkan pegangan sapu tanganku was-was. Ku dengar tandu di tendang tiga kali lalu mak comblang itu menggendongku masuk ke dalam.
Mak comblang itu kemudian menurunkanku, tanganku di genggam seseorang dan mercun pun di nyalakan. Ku dengar dari si pembawa acara bahwa acara akan segera dimulai.
"Menghormat kepada langit!" Aku dibimbing tangan kekar itu menghadap belakang dan berlutut bersujud sebanyak tiga kali lalu si pembawa acara berseru lagi.
"Menghormat kepada leluhur" aku mengikuti instrusinya lagi.
"Menghormat kepada" mempelai saling berhadapan menghormat kepada sesamanya, setelah itu si pembawa acara berteriak "sah"
Aku di bawa berdiri dan di bopong pergi oleh mak comblang tersebut menuju suatu ruangan yang dihiasi banyak warna merah.
------
Api lilin menari di depanku. Kubuka penutup kepalaku memandang sekeliling ruangan yang banyak di tempati huruf xitanda kebahagiaan. Ruangan ini adalah ruang pengantin dimana setumpuk kacang tanah, biji teratai duduk rapi di atas meja serta dua cangkir minum dan teko berisi alkohol.
Apa yang kulakukan di sini adalah menunggu. Ya, aku benci menunggu bagiku yang bersifat cepat bertindak ini menunggu itu sangat membosankan. Aku meraba saku bajuku memastikan bilah belati itu masih ada di sana. Tiba-tiba pintu terbuka buru-buru ku tutup kain penutup kepalaku. Merapikan diri lalu duduk manis di atas ranjang. Orang itu dengan langkah mantap menuju kearahku, aku semakin ketakutan, ku merongoh saku bajuku bersiap-siap.
Lelaki itu bersiap membuka penutup kepalaku, ku keluarkan bilah belatiku mengarahkannya di depan leherku.
"Jangan mendekat! Atau aku k menusuk diriku" kataku tanpa gentar.
"Baik-baik. Tenangkan dirimu Furong! Ini aku!" Kata suara familiar itu padaku.
Ku hentikan aksiku, menurunkan bilah belati itu dari leherku setelah mendengar suara yang sangat ku kenal itu.
"Ming . . . Mingli? Itukah kau?!" Tanyaku emosional.
"Ya, ini aku Mingli-mu" katanya lembut.
Kubuka penutup kepalaku seutuhnya, kutatap orang di hadapanku. Benar, dialah Mingli pangeran ke enam yang ku dambakan selama ini. Tanpa terasa air mataku mengalir membasahi pipiku, aku berhambur masuk kedalam pelukannya.
"Mingli . . . Aku merindukanmu" kataku dalam pelukannya yang hangat.
"Aku juga . . ." Ujarnya memeluk erat diriku.
Kami menghabiskan malam bersama, kami tenggelam dalam pansnya cinta.
------
Mingli tengah membantuku menyisir rambutku yang panjang di depan meja rias, dengan sisir bergerigi dia.menyisir rambutku dengan lembut. Sangat lembut.
"Rambutmu sangat indah" ujar Mingli seraya tersenyum.
Aku merasa senang melihat senyumnya. Aku juga ikut tersenyum . Serasa kami adalah pasangan paling bahagia di dunia ini. Mingli berhenti menyisir rambutku, dia mengecup pipiku pelan, serasa tak mau melepaskan momen ini aku balas mengecupnya juga.
"Aku mencintaimu Chen Furong" bisiknya tersenyum lembut lagi.
"Wang ye . . ." Ucapku tersipu malu.
Belum sempat kubalas ucapannya, seorang pelayan kediaman Li memasuki ruangan ini. Wajahnya pucat, sekujur wajahnya berkeringat dan nafasnya tak beraturan.
"Gawat pangeran! Pengawal kerajaan datang membawa anda dan fujinmenemui kaisar" katanya cepat dalam sekali tarik nafas panjang.
Kami sama-sama berbalik terkejut menatapnya, aku meremas tangan Mingli ketakutan. Akhirnya hari ini pun sud tiba, hari dimana kami berdua harus menanggung semua yang kami tanam. Cinta yang melanggar adat.
------
Ku tatap lekat-lekat sekelilingku yang serba mewah. Diatas singgasa duduk sesosok figur yang sangat gagah. Ya, dialah sang kaisar yang saat ini sedang menatap aku dan Mingli dengan tatapannya yang tajam. Aku dan Mingli berlutut bersamaan.
"Hamba memberi hormat kepada Yang Mulia"
"Beraninya kalian!" Bentak kaisar marah.
Kami menunduk berkata dalam wtu bersamaan "hamba tak berani"
"Prajurit! Seret Aixin Jueluo Mingli dari hadapanku, penggal segera!" Kata kaisar penuh kemurkaan.
To be continue . . .
Maafyatelatlagi update, banyakpekerjaan yang belumsayaselesaikan. Semogakaliansemuasehat2 saja, mohonmaafkaloadakata2 yang takberkenan.

KAMU SEDANG MEMBACA
Only Last
Romanceaku Chen Furong, di usiaku yang ke 17 tahun ini, segalanya berubah. aku menyamar menjadi laki-laki dan berkenalan dengan Aisin Gioro Mingguo, putera mahkota dinasti Qing. kami menjalin hubungan persahabatan dan dia, tentu saja tak tahu aku perempuan...