Chapter 7

5.6K 448 8
                                    

untuk menembus keterlambatan saya, saya menposting 2 chapter sekaligus saja ya, semoga pembaca dapat memaafkan saya

 

Malam sudah tiba, aku memakai baju warna ungu bermotif bunga magnolia. Ayah mendekatiku yang sedang duduk menyeruput the di ruang tamu.

“Lho? Katanya tak mau ikut?” ayah mulai paham. “ah, Fu Rong ayo kota pergi”

Kami masuk ke dalam kereta kuda menuju kediaman menteri Guh yang telah dibanjiri pengunjung, kami menapakki kediaman menteri Guh yang beralas karpet merah. Ayah mendekati menteri Guh menyatakan rasa turut berbahagianya, menteri Guh menjabat tangan ayahku.

“ah, menteri Chen, siapa gadis ini?” menteri Guh menatap aku.

“apa kabar paman? Saya Fu Rong yang selalu berkunjung kerumah paman sewaktu kecil”

“kamu Fu Rong? Kau berubah! Menteri Chen kukira dirumahmu pasti penuh orang yang ingin menjadi menantumu” menteri Guh tertawa.

“ah, kau bisa saja! Kau terlalu memujinya, bisa-bisa dia terbang nanti” ayahku ikut tertawa.

Kemudian, menteri Guh menperkenalkan anaknya pada kami. Anaknya telah berubah, dulu dia lebih kecil dariku, badannya pendek,, dan kurus, sekarang dia lebih tinggi, besar, dan kekar dariku. Dia berdiri menyapa kami, nada suaranya ramah.

“kau Chen Fu Rong tomboy itu kan? Ternyata kau telah tumbuh menjadi gadis dewasa sekarang, padahal dulu kau sering menjahiliku. Sekarang kalau diingat itu sebuah kenangan indah”

“ya, kau juga sudah berubah. Padahal dulu kau suka menangis. . . “

Pelayan menteri Guh berbisik padanya lalu dia meninggalkan kami. Aku dan ayah berpisah meja, dia duduk di meja para menteri, sementara aku berada di meja para anak muda. Ku lihat sekelilingku, tak ada satupun orang yang kukenali. Seorang kasim masuk mengumumkan kedatangan putera mahkota dan pangeran ke-6. Seluruh hadirin berdiri menghormat. Putera mahkota masuk ke halaman menyerukan berdirilah. Aku serta para hadirin berdiri.

“hei, lihat itu batu penjuru Negara ini! Alangkah bahagianya kalau aku bisa menjadi puterinya” tutur seorang gadis pada temannya.

“benar, aku pasti akan ,mati bahagia menjadi *fujin-nya!” gadis kegirangan sampai-sampai tak sadar dia *mengigit sumpit.

Aku tertawa kecil dan mulai bergumul diri.

“andai mereka tahu, aku mengenal Ming Guo bahkan berteman dengannya mereka pasti akan iri setengah mati”

Aku menoleh kea rah Ming Guo yang sedang menyalami anak menteri Guh, bersama seorang lelaki tampan yang mengenakan pakaian kebesaraan kerajaa, kelihatannya dialah yang disebut-sebut sebagai pangeran ke-6, Ming Guo bersama menteri Guh kemudian mempersilakan ke dua pangeran duduk diatas panggung khusus yang telah dipersiapkan. Ming Guo bersama menteri Guh bersenda gurau sementara pangeran ke-6 Cuma diam menyaksikan percakapan keduanya.

Aku kembali merasakan suasana kesepian, semua orang dimeja ini berbicara Cuma aku yang duduk diam memandangi mereka. Aku mengambil sepotong bebek peking dari piring di depanku, aku mengunyahnya, rasanya lembut dan harum, tentu saja sangat nikmat karena ini buatan koki nomor 1 peking. Aku terdiam terasa jenuh. Aku memutuskan berjalan-jalan sebentar di sekitar halaman belakang.

Aku berdiri memandangi lenterqa merah yang tergantung di sisi kiri dan kanan, aku berguman.

“setelah turun kan ku jamu

Bertanya dimana keberadaanmu

Dengan kecewa kau berbicara

Pergilah dan jangan bimbang masa depan

Langit berubah, hidup berubah”

Suara lelaki ringan dan murni menbalas puisiku.

“gadis jelita di depan jendela

Menyembunyikan kekhawatiran

Mengerut alis tenggelam dalam kesedihan

Jejak air mata membasahi pipi

Kepada siapa gadis jelita bersedih hati?”

Aku dapat melihat jelas baying-banyang sosok lelaki itu, dia berjaloan kearahku, wajahnya tertampil jelas dibawah remang-remang lampion merah. Dialah lelaki yang berdiri disamping Ming Guo ketika kami menymbut kedatangan mereka. Pangeran ke-6. Aku berlutut menghormat padanya.

“berdirilah. Aku Cuma ingin mendapat udara segar sebentar, suatu takdir aku dapat bertemu dengan nona, kenapa nona bersedih?” pangeran ke-6 menatapku.

“hamba Cuma merasa waktu begitu cepat berlalu, manusia pun tak luput darinya . . . “ mataku sedikit memerah, aku mengeluarkan air mata.

Pangeran ke-6 terkejut mendapati aku menangis, dia mengeluarkan sapu tangan dan diberikannya padaku.

“ke . . .kenapa kau menangis? Apakah perkataanku menyinggung perasaanmu?” dia bertanya dengan nada khawatir.

“tidak, hamba Cuma terpikir, apa rasanya menikah dengan lelaki yang kamu tak ketahui, penikahan yang ditunjuk orang tua . . . hamba merasa tak adil . . .”

“ha . . . pikiranmu sama denganku, tapi apa boleh buat. Hidup kita di berikan oleh orang tua wajar kalau mereka menentukan pernikahan kita”

Aku mengusap air mataku dengan sapu tangan pemberian pangeran ke-6

“kalau begitu hamba mohon diri” aku berjalan menjauh.

Hal malang terjadi lagi padaku, kakiku tersandung pintu! Sigap panngeran ke-6 menagkapku, mata kami saling beradu. Sejurus kemudian, aku melepaskan diri, wajahku memerah panas, aku buru-buru memohon diri dan pergi. Kulihat pangeran ke-6 masih berdiri diam disana. Dia tersenyum-senyum menatap tangannya, aku tak tahu apa yang dipikirkannya tapi yang penting aku dapat keluar dari keadaan memalukan seperti ini.

Catatan :

*fujin : istri sah atau pertama seorang pangeran

*menggigit sumpit : perbuatan paling tak sopan dalam budaya makan bangsa China

Puisi2 diatas merupakan puisi karya Li Bai

Only LastTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang