19. Andai kau bersamaku (Kerajaan Kadiri)

5.2K 689 113
                                    

Baru berjalan sebentar, aku terdiam sebentar dan memutuskan menggambar ulang peta yang diberikan kepadaku di buku yang kebetulan kubawa. Aku juga menggambar arah-arah tujuan sesuai dengan yang dipaparkan Nertaja tadi.

Aku membuat panah di setiap tempat karena aku penasaran, siapakah keluarga Raja yang menempati tempat-tempat tersebut.

Kenang-kenangan siapa tau aku kembali ke masa depan, hehe.

Lalu aku melanjutkan perjalanan. Baru berapa langkah, aku merasakan hal yang aneh.

Jiwa-jiwa rebahanku bergejolak.


"Huhuhu abis ini mundur udah mundur gamau lagi dah huhuhu."

Ucapku berbicara sendiri. Di belakangku sudah tidak ada orang karena aku yang paling terakhir berangkat.

Aku kembali menelusuri jalan setapak yang ada di hutan ini. Rasanya aneh mengingat-ingat semua yang terjadi di sini.

Bagian paling aneh adalah ketika aku akan menikah dengan Raja Majapahit yang sangat terkenal itu.


"Hah."

Aku menghembuskan napas kasar dan merogoh tas untuk mengambil air. Jika begini terus, aku tidak akan sampai dengan cepat.

Aku kembali melanjutkan perjalanan mengikuti jalan setapak yang ada. Di jalan itu sudah ada beberapa petunjuk anak panah untuk mengurangi resiko tersesat.

Kukira awalnya kulitku akan terbakar ketika mengikuti sayembara ini. Ternyata tidak juga. Karena sedari tadi tubuhku tertutupi oleh pepohonan yang sangat rindang.

Pantas tadi jiwa rebahan bergejolak.


Aku terus berjalan sambil mencoba untuk tidak mengeluh. Semakin mengeluh hanya akan membuat semakin merasa sengsara dan membuat semakin lelah.

Hingga tak terasa, petang pun tiba.

Aku mengambil dua batu lalu membuat api dari kedua batu tersebut, dan mengambil batang yang kecil untuk dijadikan obor. 

Dengan begini, aku bisa melanjutkan perjalananku meskipun malam tiba.

Aku masih terus berjalan hingga aku menemui seorang nenek tua yang sedang mengangkat kayu bakar.

Ini manusia apa dedemit nih?

Karena tidak tega, akupun memutuskan menawarkan bantuan kepada nenek ini.


"Nek, boleh kulo bantu?"

Aku mulai mengganti kata "saya" menjadi kata "kulo" semenjak kemarin Nertaja memberiku petuah bahwa kata itulah yang digunakan sebagai kata "saya" di zaman ini.

Nenek itu menoleh dan tersenyum kegirangan.

"Tentu saja nduk, maaf ya memberatkan."

"Ah, tidak apa kok, nek."

Lalu aku mengambil kayu bakar itu dan mengikuti jalan nenek tersebut hingga sampai di rumahnya. Sebuah pondokan sederhana namun layak untuk ditinggali.


"Mau makan dulu, nduk?"

"Ah, tidak perlu nek. Kulo sedang dalam perjalanan menuju Tumapel."

"Kalau begitu, beristirahatlah disini terlebih dahulu."

Aku menimbang sebentar.


The Past [MAJAPAHIT] ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang