Liam memandang pemandangan dari balkon kamar nya. Melihat sang Surya yang hendak turun, meninggalkan keindahan tersendiri di hamparan langit. Lelaki itu menghisap sebatang rokok, sesekali mendesah berat. Bayangan kesalahan yang ia lakukan, berbagai macam pertanyaan muncul di benak nya.
Salahkah ia melakukan itu?
Salahkah bila ia ingin tau bahwa ia memilili perasaan lebih untuk sahabat nya sendiri?
Pemuda itu hanya diam. Membisu. Semenjak kesalahan fatal yang ia lakukam tempo hari lalu, ia bagai hidup dalam kesendirian. Tak ada lagi sosok yang menjadi poros nya. Poros itu seperti berhenti berputar, dan membuat hidup Liam berantakan.
"Liam" panggil bunda. Wanita paruh baya itu masuk ke dalam kamarnya. Se segera mungkin ia melempar puntung rokok yang ada di tangan nya, lalu masuk ke dalam kamar seolah tidak terjadi apa-apa.
"Kenapa bun?" Tanya pemuda itu. Ia terlalu lelah untuk bersikap bahwa ia baik-baik saja, namun satu hal yang pasti, semenjak ia pergi ke Bandung beberapa hari yang lalu, semenjak itu pula ia seolah membangun jarak dengan keluarga nya.
"Sudah makan?" Tanya sang bunda perhatian.
Liam menggeleng pelan sambil menunjukkan deretan gigi nya.
"Turun yuk, ayah sama zayn udah nunggu di meja makan" ajak sang bunda.
"Deluan bun, aku nggak laper" balas nya.
Sang bunda menghela nafas. "Semenjak pulang dari Bandung, kamu nggak pernah makan sama-sama lagi" ucap sang bunda lirih.
Pria itu menoleh, tak tega melihat raut sang bunda yang terlihat sedih. Lalu ia menghela nafas pelan. " ya udah ayo" ajak nya.
Sang bunda tersenyum, lalu mengajak anak sulung nya itu turun.
*************
Makan malam itu terasa hening. Hanya suara dentingan sendok dan piring yang terdengar. Mereka semua makan dalam diam. Biasanya, Liam dan Zayn akan berebut ayam goreng kesukaan mereka. Namun, tidak kali ini. Sang adik terlalu asyik menyantap ayam goreng nya. Berbeda dengan sang kakak yang terlihat hanya memakan sup dengan nafsu makan yang sepertinya hilang ntah kemana.
"Mau tambah?" Tanya sang Bunda pada kedua anak nya serta suami nya. Viktor dan Zayn mengangguk, sedangkan Liam hanya menggeleng lemah. Tak mengeluarkan suara.
"Aku udah selesai. Deluan ya, aku mau ke kamar" pamit nya. Namun, baru sejenak ia hendak beranjak dari kursi nya, suara sang ayah terdengar untuk memerintahkan nya.
"Tunggu ayah di ruang kerja ayah. Sepuluh menit lagi ayah kesana" ucap Viktor.
Liam mengangguk, lalu berjalan menuju ruang kerja ayah nya. Ia tahu, jika ia atau pun adiknya sudah di ajak berbincang ke dalam sana, bukan hanya obrolan santai yang akan di bahas. Bahkan, obrolan yang terlalu serius.
Ia mendesah pelan. I hate this situation gumam nya pelan.
*********
Liam memutar mata nya pada seluruh penjuru ruangan ini. Ruang kerja ayah nya. Tempat yang paling malas untuk ia singgahi.
Ruangan dengan nuansa abu-abu itu terlihat rapih. Dengan berbagai ornamen serta barang-barang yang ada di dalam nya.
"Mau minum?" Tanya ayah begitu masuk ke dalam ruang kerja nya.
Liam menggeleng. "Enggak yah" balas pemuda itu. "Kenapa ayah manggil kesini?" Tanya Liam.
"Its okey Li. Ayah nggak akan marah-marah atau ngegertak kamu disini" ucap ayah sambil tertawa.
Liam mengernyitkan dahi nya. Tumben. Biasanya, bila masuk ruang ini sudah pasti akan keluar dengan rasa sakit hati.
"Gimana sekolah kamu? Lancar?" Tanya ayah.
Liam mengangguk. "Lancar. Aman kok yah. Anak ayah yang paling ganteng ini nggak jago buat onar" canda Liam.
Viktor terkekeh. "Sudah ada rencana mau kuliah dimana?" Tanya nya.
Liam mengangguk. "Yah, nilai abang kan bagus" ucap nya menggantung. "Abang punya rencana mau kuliah di London" ucap nya.
Viktor mengangkat sebelah alis nya.
"Apa apaan. Bunda nggak kasih" ucap suara dari ambang pintu. Disana, sang bunda berdiri dengan membawa nampan berisikan dua buah gelas. "Masak mau diluar si, nggak. Bunda nggak izinin" ucapnya sembari menaruh dua buah gelas di hadapan suami dan anak nya.
"Bun, Zayn kaya nya manggil tuh" ucap Viktor sambil melirik arah pintu. Wanita paruh baya itu mendengus. Menangkap kode suami nya bahwa ia ingin berbicara empat mata dengan putra sulung mereka.
"Kamu rencana mau ambil dimana?" Tanya Viktor lagi, begitu sosok istri nya sudah menghilang di telan sekat.
"Oxford" ucap nya singkat. "Business management kaya nya seru yah" ucapnya sambil tertawa.
"Kamu yakin mau kesana?" Tanya Viktor lagi.
Liam mengangguk. "Yakin, nilai abang juga selama ini bagus kok. Selagi tes juga kaya nya kemampuan abang bisa. Lagian abang ga bego-bego amat" ucap nya sambil tertawa. "Cuma-" ucap nya menggantung.
"Cuma kenapa?"
"Itu-. Bunda tadi kan bilang enggak kasih izin" ucap Liam
Viktor menatap anak sulung nya." Udah. Masalah bunda mah, biar ayah yang urus. Gampang itu. Kamu fokus aja sama tujuan kamu. Ayah dukung kok" ucap Viktor.
Liam mengangguk. Lalu ayah dan anak itu melanjutkan obrolan santai mereka.
Mungkin dengan gue menjauh gue bisa melupakan perasaan gue. Atau bahkan, gue bisa nemu kebahagiaan gue di tempat lain.
*************
Sementara itu, di kediaman Wiliam, anak gadis nya sedang duduk di dalam kamar. Menatap layar ponsel nya. Tampak foto kenangan ia bersama Liam.
Tanpa ia sadari, air mata nya luruh. Gue mau belajar Iam buat maafin lo. Gue bakal lupain kalo lo pernah suka sama gue. Lo yang terbaik Iam. Cuma lo, cuma lo yang paham dan ngerti sama gue
KAMU SEDANG MEMBACA
HURTED
Teen FictionTentang semesta yang terkadang membuat dunia nya. Seperti bumi yang membutuhkan poros nya, dan prihal hati, yang berusaha menepikan ke egoisan nya.