Takdir membawa Maudy ke negara asing dan mempertemukannya dengan brondong yang terobsesi padanya. Selalu melakukan apapun untuk menahannya. Mulai dari hal sepele sampai ke hal anarkis.
Lantas, bagaimanakah nasib Maudy selanjutnya? Apakah dia mampu m...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Maudy duduk di salah satu bangku taman kampus. Kepalanya tertunduk dalam. Matanya menatap kosong rerumputan yang diinjaknya. Helaan nafas kasar keluar dari mulutnya. Sedetik kemudian, ia pun menyugar rambutnya kesal.
Beberapa Minggu belakangan ini, hidupnya selalu dibayangi kesialan seolah-olah telah melakukan banyak kesalahan di kehidupan sebelumnya.
Maudy tak tahu kenapa bisa sesial ini. Rasanya ingin kabur saja, tapi apalah daya. Mustahil baginya untuk kabur karena sampai sekarang, King masih mengurungnya, mengawasinya, dan mengancamnya. Pria itu tidak menyimpan kepercayaan padanya sedikit pun.
"Kau kenapa, Maudy?" Heran Lavina.
Maudy sontak menoleh ke asal suara akibat terlampau kaget.
Padahal tadi ia duduk sendirian, kenapa mendadak ada Lavina di sampingnya?!
Keningnya mengernyit heran kala melihat wajah Lavina. "Kau yang kenapa, Lavina? Apa yang terjadi pada wajahmu?"
Lavina tampak gelagapan sehingga membuat Maudy memicingkan mata penasaran. "Siapa yang membuat wajahmu seperti itu?" Tuntutnya.
Meskipun Lavina memakai bedak tebal untuk menutupi memar di wajahnya, Maudy masih bisa melihatnya.
"Honey. Kenapa kau masih di sini? Bukan kah tadi kau sudah janji padaku akan segera ke kantin untuk makan bersamaku."
Kemunculan mendadak seorang pria tampan membuat Lavina gelagapan. "Maaf. Aku lupa."
"Cepatlah! Aku sudah lapar akibat terlalu lama menunggumu!"
Lavina langsung berdiri dan memeluk lengan pria itu. "Jangan kesal. Aku minta maaf, oke?" Resahnya.
Pria itu mendengus kasar sedangkan wajah Lavina terlihat sangat tegang.
"Untuk kali ini ku maafkan. Tapi, jangan harap aku akan memaafkanmu di lain waktu."
Lavina tersenyum lega. Lalu, mengajak pria itu pergi tanpa mempedulikan Maudy.
"Sepertinya ada yang aneh dari hubungan mereka."
Maudy mengusap dagunya seraya berpikir. "Apa mungkin doaku terkabulkan?"
Gadis cantik itu menggelengkan kepala miris mengingat memar di wajah Lavina. Ia menyimpulkan pria tadi lah yang membuat Lavina terluka. Selain itu, reaksi Lavina sama seperti reaksinya saat berhadapan dengan King.
"Karma itu nyata. Apa yang dilakukan bisa saja terjadi pada orang terdekat pelakunya."
Maudy tak tahu harus senang atau sedih di saat doanya terkabulkan. Namun, di lain sisi, ia tak tega melihat temannya disakiti.
Maudy bukan wanita jahat. Mana mungkin ia bisa berbahagia di atas penderitaan Lavina. Walaupun dia disakiti oleh adik Lavina.
"Kasihan Lavina." Gumamnya.
"Kenapa kasihan ke kakakku?"
Maudy mendongak. Menatap King yang sudah berdiri menjulang tinggi di hadapannya, sebelum akhirnya duduk di sampingnya.
Dua bersaudara itu kenapa selalu muncul mendadak bak jelangkung? Heran.
Gadis cantik itu menghela nafas panjang. "Sepertinya ada yang tidak beres dengan kakakmu."
King mengerutkan kening heran. "Apa maksudmu?"
"Aku tidak bisa menjelaskannya. Lebih baik kau mengawasi kakakmu sebelum terjadi sesuatu yang tidak diinginkan dan memberikan penyesalan pada dirimu."
Maudy tak mau mengungkapkannya secara gamblang karena takut dugaannya salah.
"Jelaskan maksud ucapanmu sekarang juga atau aku akan menghukummu!"
Maudy melotot kesal. "Dasar bocah tidak tahu diri! Padahal aku sudah berbaik hati memberikan clue padamu tapi kau malah mengancamku!"
King menatap Maudy datar dan penuh ancaman. "Apa katamu?"
Maudy menyengir paksa seraya memasang wajah sok polosnya. "Entahlah. Aku tidak ingat apa yang ku katakan barusan. Sepertinya aku mendadak amnesia."
"Sayang..." Suara King penuh peringatan, membuat Maudy mengerucutkan bibir sebal.
"Ish! Aku menyesal mengatakannya padamu!" Gumamnya pelan.
"Apa aku perlu menghukummu, sayang?" Tanya King dengan senyuman manis. Namun, terlihat sangat menyeramkan.
Maudy saja sampai bergidik ngeri melihat senyuman menyeramkan itu. "Oke, oke. Aku akan mengatakannya. Tapi, ini hanya dugaanku saja. Kau dilarang bertindak gegabah."
King menaikkan alisnya heran. Lewat tatapan tajam, menuntut Maudy untuk melanjutkan perkataannya.
"Sebenarnya aku curiga Lavina disakiti oleh kekasihnya," kata Maudy cepat.
"Apa?!"
King langsung berdiri. Wajahnya tampak sangat murka sedangkan tangannya mengepal marah. "Aku akan membunuh pria sialan itu!"
Maudy menahan tangan King sekuat tangan. "Tunggu dulu. Ini hanya perkiraan ku." Jeritnya heboh. Bisa mampus dia kalau ternyata dugaannya salah.
King berusaha melepaskan cekalan tangan Maudy tapi Maudy malah menguatkan cengkramannya. "Pastikan dulu, baru bertindak!!"
King mendengus kasar. "Baiklah. Aku akan memastikannya dulu. Kalau sampai pria itu terbukti menyakiti kakakku, maka aku tidak akan mengampuninya. Aku akan melenyapkan pria sampah itu dari muka bumi ini!" Geramnya.
Maudy melepaskan cekalannya. "Nah! Kau sendiri tahu pria yang menyakiti perempuan itu sampah, tapi kenapa kau tidak tahu malu menjadi sosok yang kau cap sampah itu? Tidak sekalian saja melenyapkan dirimu sendiri dari muka bumi ini?"
King melotot marah sedangkan Maudy menyengir bodoh.