Vote sebelum baca⭐
Bantingan pintu membuat Maudy terlonjak kaget. Gadis itu tampak kembali was-was. Takut King menjadikannya pelampiasan amarah.
Lama menunggu, King tidak kunjung masuk ke dalam kamar. Ia menghela nafas lega dan ingin melanjutkan kembali tidurnya.
Memangnya apalagi yang bisa dilakukan Maudy di dalam kamar jika bukan tidur, mengingat tidak ada apapun di sini. Tv, hp, laptop, atau pun barang lainnya!
Maudy berasa kembali ke zaman dulu. Hidup tanpa teknologi apapun. Tapi, setidaknya dulu ia punya banyak teman dan memainkan banyak permainan sehingga tak merasa bosan sedikit pun.
Gadis cantik itu mengerang kesal. Hidup di dalam kurungan King benar-benar membuatnya tertekan meskipun King tidak pernah melukainya atau pun melecehkannya lagi.
Biasanya King hanya mengajaknya mengobrol. Ah, lebih tepatnya memaksa.
Selain mengobrol, biasanya King juga sering memaksakan kehendaknya ke Maudy. Misalnya memaksa Maudy makan, memaksa Maudy berbohong ke semua orang tentang keadaan gadis itu, dan masih banyak lagi hal lainnya. Jika Maudy menolak, maka ancaman lah yang didapatkannya.
Maudy yang pada dasarnya penakut, hanya bisa menuruti semua keinginan King meskipun hatinya terasa sangat berat.
Mata Maudy sontak terbuka lebar mendengar pintu kamar dibuka. Jantungnya berdegup kencang sedangkan tubuhnya bergerak gelisah.
"Kakakku akan tinggal di sini mulai sekarang. Jadi, ku harap kau tidak mengatakan apapun padanya atau aku akan mengurungmu di tempat terpencil!"
Perkataan King membuat nafas Maudy tercekat.
"Mengerti, Maudy?" Tekan King dengan tatapan mematikannya.
Maudy mengangguk pasrah sebagai jawaban. Itu lebih baik daripada dihukum lagi.
Gadis cantik itu menegang kaku kala King mengelus puncak kepalanya.
"Sekarang masa hukumanmu sudah habis. Kau boleh pergi kemana pun yang kau inginkan, asalkan tidak mencoba kabur lagi."
Senyuman bahagia muncul begitu saja di bibir Maudy tanpa dapat ditahan. Akhirnya, penantian panjangnya membuahkan hasil. Ia bebas!
"Tapi jangan pernah mencoba kabur lagi dariku karena aku sendiri tidak tahu hukuman apa yang akan kuberikan padamu." Ancamnya melihat kebahagiaan Maudy.
Sementara itu, Maudy mendecih kesal di dalam hati. Mustahil baginya nekat melarikan diri lagi karena hukuman King sangat menakutkan. Lebih baik ia mencari aman saja demi keamanan dirinya.
"Aku tidak akan mencoba kabur lagi asalkan kau tidak melecehkanku, King. Aku bersedia tinggal di sisimu selama kau tidak melakukan hal tercela itu padaku." Tegas Maudy. Berharap King mengerti.
King terdiam sejenak. Ia duduk di sisi Maudy, menatap gadis itu dengan tatapan tidak terbaca.
Maudy mengerjap heran melihat ekspresi aneh pria di sampingnya itu. Sedikit tersentak kaget kala King mengenggam tangannya.
"Sebenarnya aku merasa sangat bersalah padamu. Apalagi setelah melihat reaksimu. Akan tetapi, kemarahan sangat menguasai ku waktu itu sehingga tidak langsung meminta maaf padamu. Maafkan aku, Maudy. Aku janji tidak akan mengulanginya lagi." Tuturnya pelan dengan ekspresi dipenuhi rasa bersalah.
Namun, hal tersebut tidak membuat Maudy merasa tersentuh. Ia masih dendam pada King yang melecehkannya. Ia juga yakin King akan mengulangi hal yang sama jika kejadian serupa terjadi karena King susah mengontrol emosi.
Pria berusia 19 tahun itu terlalu susah ditebak. Kadang murah senyum, kadang ramah, kadang kekanakan, kadang pemarah, kadang kasar, dan kadang emosian. Terlalu labil layaknya orang penderita bipolar.
"Oh ya, bagaimana keadaan Lavina?" Tanyanya mengalihkan pembicaraan akibat tak Sudi menjawab permintaan maaf King.
"Untungnya kakakku baik-baik saja. Doa burukmu tidak terkabulkan." Ejeknya seraya menyeringai sehingga membuat Maudy mendengus kesal dan mengalihkan tatapan ke arah lain.
"Baguslah kalau dia baik-baik saja. Tapi, kenapa dia menghilang selama itu? Apa yang terjadi padanya?" Maudy penasaran.
King menggertakkan giginya kesal. "Dia menangisi Acer dan mengasingkan diri di hotel."
Maudy ber-oh ria. Lumayan kecewa mengetahui Lavina baik-baik saja karena King tidak mendapatkan pelajaran berharga.
"Arghh!! Rasanya aku sangat marah memikirkan Acer yang mempermainkan kakakku! Aku ingin memukulnya sampai dia mati!"
Maudy menoleh ke arah King. "Jangan salahkan Acer, tapi salahkan kakakmu yang baperan." Cetusnya.
Berdasarkan pengamatannya selama ini, Acer hanya memperlakukan Lavina layaknya seorang sahabat sekaligus adik perempuan. Tidak lebih. Jadi, itu bukan salah Acer.
King berdecak tak terima.
"Lagipula perasaan tidak dapat dipaksakan. Tak selamanya cinta bisa dimiliki. Kecuali kalau kakakmu sama gilanya denganmu. Mengurung, mengancam, dan memaksakan kehendak," kata Maudy datar.
King melotot kesal sedangkan Maudy merebahkan tubuhnya. "Sudahlah. Aku mengantuk. Jangan mengajakku berbicara lagi."
Bersambung...
21.5.22
KAMU SEDANG MEMBACA
Obsessive
RomanceTakdir membawa Maudy ke negara asing dan mempertemukannya dengan brondong yang terobsesi padanya. Selalu melakukan apapun untuk menahannya. Mulai dari hal sepele sampai ke hal anarkis. Lantas, bagaimanakah nasib Maudy selanjutnya? Apakah dia mampu m...