Takdir membawa Maudy ke negara asing dan mempertemukannya dengan brondong yang terobsesi padanya. Selalu melakukan apapun untuk menahannya. Mulai dari hal sepele sampai ke hal anarkis.
Lantas, bagaimanakah nasib Maudy selanjutnya? Apakah dia mampu m...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Tindakan King membuat Maudy takut bukan main.
Saking takutnya, gadis cantik itu nekat kabur dari London tanpa membawa apapun selain barang penting.
Ia tak peduli lagi pada kuliahnya karena yang paling terpenting baginya adalah menyelamatkan dirinya.
Tubuhnya lebih berharga daripada kuliah. Sebelum mendapatkan pelecehan lebih parah, lebih baik dia kabur sejauh mungkin.
Tidak masalah jika dia harus mengembalikan dana yang diberikan padanya. Lagipula dia belum memakainya satu persen pun. Semua dana masih tersimpan utuh di dalam rekeningnya.
Maudy pulang tanpa mengabari siapapun. Baik Krystal atau pun Lavina karena merasa sia-sia saja meminta bantuan pada mereka.
Maudy bahkan tidak memberi tahu orangtuanya. Takut ditahan oleh mereka.
Di sepanjang perjalanan dalam pesawat, Maudy terus menangis tertahan mengingat perlakuan King padanya.
Awalnya ia pikir King tidak akan sampai separah itu, makanya dia diam saja. Tapi siapa sangka pria itu jauh lebih mengerikan daripada apa yang dibayangkannya.
Setelah satu hari perjalanan, akhirnya Maudy sampai di kosnya. Ia masuk ke dalam kos sembari menangis seakan air matanya tak pernah kering.
"Astaga, Maudy. Kok kamu nangis? Siapa yang membuatmu nangis?"
"Pulang dari luar negri bukannya bawa oleh-oleh, malah nangis. Kamu habis diapain di sana?"
"Kamu kangen rumah? Gak sanggup hidup di negara orang?"
"Apa kubilang! Harusnya kamu gak usah ngambil tawaran itu."
Maudy duduk di lantai dan menyembunyikan wajahnya di lutut. "Aku takut guys. Takut banget. Aku gak sanggup lagi di sana."
Semuanya mendekat dan memeluk tubuh Maudy secara bersamaan. Berharap bisa menguatkan gadis satu itu. "Kalau gak sanggup, batalkan saja. Kami akan membantumu menjelaskannya ke pihak kampus."
Maudy tersenyum dalam tangisannya. Inilah yang dia harapkan. Orang yang mengerti dirinya dan mau membantunya.
"Makasih banyak. Tanpa kalian, aku gak tahu lagi harus melakukan apa."
Pelukan mereka terlepas tapi masih menenangkan Maudy. Mulai dari mengusap punggung Maudy, mengusap rambut Maudy, memberikan tisu, dan mengambil minuman untuk gadis itu.
Mereka benar-benar berusaha menenangkan Maudy karena mereka tahu betapa rapuhnya seorang Maudy. Meskipun gadis cantik itu selalu bertingkah ceria.
Nessa mengusap air mata Maudy Pelan. "Sekarang jangan menangis lagi. Lebih baik kau segera beristirahat supaya saat terbangun nanti, perasaanmu menjadi lebih lega."
"Nih, minum dulu." Riska memberikan segelas air minum ke Maudy. Disambut dengan baik oleh Maudy.
Setelah itu, mereka mengantar Maudy ke kamar. Lalu, menemani gadis itu sampai tertidur.
****
Mata Maudy terasa sangat berat seolah ada batu yang menimpa matanya. Meskipun begitu, dia tetap memaksakan membuka matanya.
"Woi! Lama amat sih kalian! Yuk cepat kumpul di kamar Nessa. Gue udah lapar nih gegara nungguin kalian." Teriak Riska yang mendadak muncul di ambang pintu kamar Maudy.
"Ya elah. Sabar kali!" Cetus Alena.
"Aku gak bisa sabar karena masakan Nessa terlalu menggoda iman." Balas Riska tak mau kalah.
"Dasar busung lapar!"
"Heh!"
Maudy tertawa geli melihat perdebatan kedua sahabatnya. Karena itu pula lah, ia mulai melupakan pengalaman pahitnya selama di London.
Keberadaan sahabat memang sangat berpengaruh di dalam hidup Maudy. Makanya saat di London, dia sedikit kesulitan karena tak punya sahabat yang bisa menjadi tempatnya berkeluh kesah dan bergantung.
Krystal dan Lavina tak bisa dijadikannya tempat berkeluh kesah dan bergantung karena keduanya mempunyai hubungan keluarga dengan King.