Sahara

16 3 0
                                    

Luas dan tak berujung.

Itulah yang terlintas di pikirannya ketika Ia membuka kedua matanya.
Matahari seakan berada di atas kepalanya.

Sesekali debu-debu itu terbawa angin sedang,menyentuh wajahnya lembut.

Panas sekali.
Tak ada siapapun.
Hanya ia sendiri.

Ia melihat pakaian yang dikenakannya.
Gaun serba putih yang ia kenakan ketika lebaran beberapa tahun yang lalu.

Ia berjalan kesana kemari tetapi sekali lagi,disini tak berujung.
Semua tempat terlihat sama.
Hanya hamparan padang pasir.

Ia berhenti sejenak.
Lelah dan haus mulai menghampiri.

Ia tidak menemukan siapa-siapa sedari tadi.

Mengapa ia bisa disini?

Pertanyaan itu terputar bagai kaset rusak di kepalanya.
Ia mencoba mengingat hal-hal terakhir yang ia lakukan hingga kemudian sesuatu dari kejauhan menarik perhatiannya.

Tampak blur,ia memfokuskan pandangannya sekali lagi.

Itu seseorang!

Seseorang itu sedang berjalan ke arahnya.
Ia pun berlari kesenangan ingin meminta tolong hingga berhenti tanpa sebab ketika jaraknya dan orang itu hanya berkisar dua puluh langkah lagi.

Ia terdiam kosong.

Tatapan orang itu tak berbeda dengannya.

Kosong dan tetap berjalan lurus hingga mengikis jaraknya dengan perempuan itu.

Ia masih terdiam di tempatnya hingga orang itu lewat tanpa melihatnya sedikit pun seolah ia tidak ada,hampir saja bahu mereka bertabrakan.

Ia mengenali orang itu.Sangat mengenali.

Ini .... Membingungkan.

Perempuan itu berbalik dan menatap punggung yang telah menjauh.

"Tolong..." gumamnya lirih bahkan hampir tak terdengar tapi sanggup membuat orang itu berhenti.

Hanya berhenti kemudian melanjutkan langkahnya lagi tanpa berbalik menatapnya.

•••

3 am

Dingin.
Guyuran shower yang menyengat kulitku sejak satu jam yang lalu tidak mempan juga mendinginkan kepalaku.

Aku memutuskan menyudahi kegiatan ini ketika tanganku mulai bergetar.

Suhu di luar mendekati minus dua derajat.

Aku mengeratkan syal dan jaketku.
Sepatu Boot cokelat lamaku bertengger rapi di rak sepatu siap untuk melangkah menyusuri gelap dan dinginnya Kota New York saat ini.

Ada beberapa restoran cepat saji yang buka selama 24 jam tetapi,langkahku menuntunku ke sebuah kedai kopi di sudut jalan yang terlihat terang di kegelapan.

Aku mendorong pintu hingga terdengar bunyi nyaring dari lonceng yang tergantung di depannya,seketika aroma kopi memenuhi indera penciumanku.

Lelaki yang sibuk meracik kopi dibalik meja kasir melirikku sebentar.

"Too early for a cup of Matcha coffee,Ms. Humhum." Katanya mengingatkan.

"Up to you,Barra." Ucapku malas menanggapi ceramahnya nanti.

Meskipun aku memaksa Ia tetap tidak akan membiarkanku menikmati secangkir Matcha coffee di pagi buta ini.

Ia mulai meracik minuman yang entah apa itu. Aku menyukai seluruh jenis minuman disini kecuali cocktail.

Aku melonggarkan syal dan mantelku sebab suhu di dalam kedai cukup hangat dibanding di luar.

Jalanan benar-benar lengang.
Aku melirik jam di tanganku yang menunjukkan pukul setengah empat subuh,wajar saja kedai ini masih sepi.

"You look messy," katanya menatap fokus cangkir yang diaduknya.

"I know I'm beautiful,thanks."

Ia terkekeh pelan hingga kedua lesung pipinya nampak kemudian menyodorkan pesananku.

"Hot dark chocolate for the sweetest one." katanya sok merayu ala pria flamboyan di luar sana.

"Ouch,I'm baper."

"Makasih?"

"Makasih,Barra."

"Barra saja?"

"Barra Api Neraka."

"Barra..what?"

Ia mengernyitkan kening bingung mendengar kosakata baru dalam bahasa Indonesia yang belum pernah kuajarkan padanya.

Entah mengapa Ia terlihat lucu.

"Forget it.Makasih,Barra tamvan."

Seketika ekspresinya terganti senyuman lebar dengan lesung pipi yang makin dalam.

Gemas juga lama-lama.

"Mau sarapan?" tawarnya dengan aksen yang agak kaku.

Aku menggeleng pelan kemudian menatap ke luar jendela,sekilas ia hanya bergumam 'okay' kemudian larut dalam jurnalnya.

Ada sorot 'ingin tahu' dalam matanya yang ia tutupi dengan menahan diri untuk tak bertanya apapun padaku.

Aku juga merasa 'berantakan' saat ini,jaket cokelat terpakai asal-asalan,rok yang belum disetrika ditambah hijab yang kuambil secara asal di gantungan yang baru kusadari berwarna hijau tua dan sangat kontras dengan syal pink fanta yang melilit leherku.

Bahkan,penampilanku tanpa sadar pasti mampu membuat Barra menebak isi pikiranku yang 'lebih berantakan' ini.

Beberapa menit berlalu bersama keheningan yang masih setia menyelimuti kami hingga Barra memutuskan memecah keheningan.

"What's wrong,Maiwa?" Tanyanya tanpa menatapku.

"Nothing,I just..."
Aku seketika tidak tau akan mengatakan apa.

Ia mulai menutup bukunya dan fokus kepadaku seperti yang selalu ia lakukan ketika aku terlihat akan bercerita.

"Just......?"

"Ini....enak." Kataku mengalihkan,entah mengapa aku menjadi tidak ingin bercerita apapun.

Ia terkekeh lagi.
Kemudian terdiam menatapku lama.

"This is not the first time you say it." Katanya kemudian.

Aku hanya tersenyum sembari menghabiskan minumanku.

"But,this is the first time you say it without that charming smile."

Aku nyaris tersedak.

Kali ini aku tidak memerdulikan kata-katanya dan mulai beranjak menuju pintu keluar,samar-samar aku mendengarnya mengatakan 'sampai jumpa di kampus.'

Aku menarik gagang pintu kemudian melangkah keluar dan seketika jantungku berhenti berdetak.

Padang pasir itu lagi.

•••

Humaira!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang