Dusk

14 3 0
                                    


Matahari perlahan kembali ke peraduannya.
Semburat jingga kemerahan terhampar di atas sana bagai mahakarya indah yang diciptakan oleh Sang khalik.

Semilir angin sore menerpa lembut wajah lembap berkeringatku.
Latihan hari ini cukup melelahkan.
Ah,lelah ini tidak sebanding dengan lelahmu,Za.
Aku berkali-kali lupa tentang janjiku pada diri sendiri untuk tidak mengeluhkan sesuatu.

Setiap akan mengeluh,Aku membandingkannya dengan apa yang kamu alami disana.

Benar kata orang,ilmu itu mahal.

Kita semua berjuang demi sebuah ilmu.
Berjuang demi sesuatu yang tidak kita ketahui jumlah pastinya.
Tidak seperti uang.

Wajar saja jika ada orangtua berpikir tidak ingin menyekolahkan anaknya.
Mahal dan belum tentu dapat kerja,katanya.

Mereka benar.
Proses 'mencerdaskan diri' memang investasi jangka panjang.Hasilnya tidak secepat yang kita mau.

Harusnya memang kita bersyukur orangtua kita mau bersabar menanti hasil 'investasi jangka panjang' itu.
Rela membayar berapapun yang lagi-lagi demi sebuah 'ilmu'.

Seharusnya kita memang jangan terlalu banyak mengeluh,kan?
Hmm..Namanya juga manusia,Za.

"Selain menjalani memangnya apalagi yang harus dilakukan?" Tanyamu di telepon malam itu.

Ada yang bisa kita lakukan,Za.
Menuruti ego sendiri,misalnya.
Tetapi,kembali lagi ke diri sendiri,memangnya itu baik?

Kita memang sulit mengerti tentang mereka yang membayar ilmu kita dengan keringat bercampur darah.

Kamu selalu benar.
Seharusnya Kita berhenti mengeluhkan tentang pengorbanan kesenangan kita sendiri demi sebuah ilmu.
Kita....tidak tahu apa-apa tentang pengorbanan mereka di luar sana.

Kita benar-benar tidak tahu apa-apa.

Hari ini tepat setahun Aku mengabaikan teleponmu,Za.
Maaf.
Maaf tidak menyediakan sedikit waktu untuk diskusi singkat kita,meskipun sekedar menanyakan bagaimana kabarmu serta hari-hari mu.

Aku sedang sibuk disini.Sibuk menatap langit senja sembari menerka-nerka apa yang direncanakan-Nya di atas sana.

Kamu pasti sibuk dengan beragam kitab tebal mu,kan?

Setidaknya sibukmu membawa berkah,tidak seperti sibukku yang berujung resah
pada-Nya.

•••

"Pahit,Ma."

Mama terus menyuapi ku tanpa mengihiraukan perkataanku.

Setiap masakan itu menyentuh lidah ku maka pahitnya makin terasa.
Memang tidak ada yang enak ketika sakit,termasuk makanan rumah sakit yang terlihat menggiurkan ini sejak pertama kali diantarkan seorang perawat itu kemari.
Asap yang masih mengepul.
Warna makanan yang begitu menggugah selera.
Aromanya yang memenuhi indera penciumanku.

Hmm....Ulalaa~

Lalu sesendok penuh itu perlahan menyentuh lidahku...

Zonk

Sepertinya nasi dengan taburan garam seribu kali lebih baik dari ini.

"Orang sakit harus sabar,Nak."

"Pokoknya ini terakhir kalinya Mai diinfus."
Aku menatap ngeri jarum infus di tangan kanan ku,tidak pernah terbayangkan sebelumnya tanganku harus menerima jarum infus ini.Mungkin ini terdengar sangat kekanakan untuk remaja belasan tahun sepertiku.
Aku sangat takut jarum suntik dan semacamnya termasuk jarum infus ini,bayangan jarum ini masuk ke tubuhku dan menyatu dengan pembuluh darahku........Totally creepy!

"Itu kalau kamu mengurangi sibukmu dan memperhatikan kesehatanmu,Mai."

"Iya,Ma."

"Kalau lapar,makan.Jangan ditahan-tahan.Kamu itu kebiasaan kalau lagi ngerjain sesuatu suka lupa segalanya,lupa mandi,lupa istirahat,lupa makan."

"Itu Mai lagi konsen-"

"Gausah jawab! Dengerin aja."

"Iya,Ma."

Aku menatap ngeri tahu serta tempe yang sudah tidak berbentuk sebab menjadi korban luapan emosi mama.

"Nih.Makan lagi."

"Kayaknya Mai udah kenyang,Ma."

"Kok ada kata 'kayaknya',berarti belum kenyang."

Mama segera menyodorkan sesendok penuh makanan.
Aku mengeluarkan jurus berpura-pura bersendawaku.
Mama meletakkan piring makanan yang telah habis separuhnya itu ke atas meja kemudian menyodorkan segelas air kepadaku.

Ting!

Aku menatap ponselku di nakas,tidak berminat mengambil ataupun mengeceknya.Aku sedang lelah bersosialisasi untuk saat ini.
Kutarik selimutku hingga ke leher lalu mencari posisi yang nyaman untuk tidur.

Ketika akan terlelap ponselku berdering....Yassalam.

Lovely Haina is calling

Begini rasanya kalau punya kawan seperti Haina,jika kalian tidak ada di sekitar Haina maka ia akan berusaha mencari kalian lalu mencecar kalian dengan berbagai macam pertanyaan seputar dimana,kenapa,apa.
Orang bilang ini Haina ini sangat memenuhi kriteria 'bestfriends goals'.Ya,mereka benar.
Aku sangat mengakui itu.

"Assalamu'alaikum,kenapa,Na?"

"Lo dimanaa Maiii??...Wa'alaikumussalam..Kita bakalan presentasi hari ini jam terakhir!! Gue gak peduli Lo dateng jam pertama kek,jam kedua,ketiga,keempat—"

"Na-"

"Intinya Lo harus datengg,Maii.."

"Na-"

"Gue tau Lo gak peduli sama nilai tapi pleaseeee kita udah seperfect ini nyiapin presentasinya sampe gue harus ngorbanin jam tidu-"

"Aku lagi di rumah sakit,Na."

Tiba-tiba suara Haina tidak terdengar,hanya suara kegaduhan kelas yang samar-samar terdengar.

"Na? Haina?"

"LO KENAPA NGGAK BILANG DARITADI KALAU LO SAKIT MAII! ASTATANG GUE BARU NEMU SURAT LO DI LANTAI ABIS DILIPET JADI PESAWAT TERBANG SAMA ANAK-ANAK!"


🙂


•••

I'm Back!

First,Saya memohon maaf atas semua pembaca atas keterlambatan update ini.
Bulan lalu saya baru saja mengikuti UTBK (Ujian Tulis Berbasis Komputer).

Doain guys,semoga perjuangan saya selama ini tidak sia-sia dan semoga di tanggal 20 Agustus nanti tanda hijau menghiasi laman pengumuman saya🥺
Aamiin...

Danke,guys💞

-s.e.m.

Humaira!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang