Pizza talk.

10 2 0
                                    

Maiwa menggigit pizzanya  penuh suka cita.

Kombinasi paprika dan daging asap terasa pecah di lidahnya hingga ia memejamkan matanya menikmati sensasi-sensasi favoritnya.

Barra mengambil sebotol air mineral dan meneguknya perlahan untuk menjernihkan pikirannya yang keruh.

"Muakan,Bar." Kata Maiwa dengan pipi menggembung dengan mulut penuh pizza.

"He'em," gumam Barra, "Apartemenmu bagus."

Maiwa hanya tersenyum sekilas kemudian kembali sibuk mengunyah pizza ketiganya.

"Lalu....Why do we eat here?"

Maiwa meneguk air mineral dan beralih menatap Barra dengan raut penyesalan.

"Maaf ya,Bar.." Maiwa menjeda kalimatnya sejenak, "Aku tidak nyaman berduaan di apartemen dan......"

"Dan.....?"

"Agamaku juga melarangnya,If you feel uncomfort—"

"No prob.I just wanna know." Potong Barra meringankan rasa bersalah Maiwa, "Apa itu alasan yang sama mengapa kau memakai...hijab?"

"No.I wear it to look prettier."
Maiwa menjawab bangga dan memasang ekspresi sombongnya.

Barra mendengus tidak percaya, "Seriously?"

"Totally,not.Ini perintah Allah." Kata Maiwa merubah ekspresinya menjadi lebih serius.Barra mengangguk-anggukkan kepalanya mengerti.

"Kau nyaman dengan....itu?" tanya Barra melirik hijab yang menutup kepala Maiwa.

"Sure." Maiwa menjawab mantap sembari membuka bungkus keripik kentang yang dibawa Barra bersama pizza-pizza itu.

"Awalnya tidak karena yaa...seperti yang kau lihat ini terasa panas dan...rumit? But,i still tried and voila! Mungkin ini terdengar cheesy but,I can't live without this!" Sambung Maiwa bersemangat hingga Barra terkekeh.

Barra berpikir sejenak lalu meneguk air mineral lagi kemudian beralih menatap Maiwa yang senantiasa melemparkan senyum kepada penghuni apartemen yang baru masuk atau keluar lalu menawari mereka untuk bergabung menyantap pizza seperti biasa.

Tipikal orang Asia.Pikir Barra.

"So,bagaimana mengatasi um...Anxiety menurut agamamu?" tanya Barra kaku setelah memilah-milah kata yang tepat di pikirannya.

"Hmm..Let me guess!"

Maiwa menatap Barra dengan pandangan menyelidik, "Kau sedang menyusun hipotesa-hipotesa untuk proyek jurnalmu,right?"

"Anggap saja begitu." Barra mengedikkan bahunya santai kemudian memasukkan beberapa keripik kentang ke dalam mulutnya lalu membuka aplikasi game di ponselnya.

Maiwa menatap Barra malas,harusnya ia bisa menebak dari awal motif Barra membawakannya  makanan kesukaannya.

"Don't look at me like that,just answer it." Kata Barra tanpa mengalihkan pandangan dari ponselnya.

Maiwa terdiam berpikir sejenak.
Barra mengalihkan perhatiannya menatap wajah Maiwa menunggu jawaban.

"More closer to God,reading Quran,um...filantropi,..."

"Filantropi?" Barra mengangkat sebelah alisnya mendengar istilah yang baru didengarnya.

"Filantropi is like 'help others solve their problems' like......" Maiwa menggantungkan kalimatnya memikirkan kata yang pas,
"Volunteer.Sukarelawan.It is one of many way to reduce 'anxiety' in Islam."

Barra mengangguk takjub mendengar penjelasan yang out of the box itu sembari menggumamkan kata 'sukarelawan' berulang-ulang.

"So,How about......obat penenang? Is it allowed?"

Barra tidak menemukan raut kaget dan semacamnya di wajah Maiwa.

Gadis itu terus memasukkan keripik kentang ke dalam mulutnya dan sibuk membaca komposisi keripik itu di bungkusnya.

Sejak pertemuan pertama mereka,Maiwa selalu rumit dan sulit dibaca.Bahkan,gelar psikolog ternama yang Barra sandang tidak sanggup membuatnya mampu mengetahui isi kepala gadis di hadapannya dengan mudah.

"Tergantung pemakaian."
Maiwa menjawab santai meraih sebotol air mineral dan meneguknya.

"Ah! Menurutku itu tidak perlu,cause you have faith in God who always solve all your problems,right?"

Air yang seharusnya membasahi tenggorokan malah berbelok memasuki saluran pernapasan Maiwa ketika mendengar pernyataan sederhana itu.

•••

Humaira!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang