"Have you ever fall in love,Bar?"Aku pikir sulit menemukan tempat seperti ini tanpa harus berdiri di pinggir jembatan Brooklyn Bridge yang riuh.
Pantulan Barra yang sedang mengunyah cheese burger di air entah mengapa membuatku ingin menanyakan itu.Jangan menyalahkanku karena tidak melarangnya memakan junk food,percayalah mulutku sudah berbusa mengingatkannya terus dan ia malah membawakanku sekotak pizza yang terlihat seperti disiram satu ton mozarella.
Barra bergumam pelan,"People said it feels like lots of butterflies flying in your stomach,bagaimana denganmu?"
"Kau bahkan tidak menjawab pertanyaanku."
Barra menoleh menatapku yang sedang menatapnya di pantulan air.Aku sedang menerka-nerka ekspresinya tanpa harus menatapnya,jujur saja ini cukup seru.
"Aku belum pernah merasakan kupu-kupu beterbangan di perutku."
Please,Dia bahkan lebih tahu rasanya dari sekedar 'kupu-kupu terbang di dalam perut.'
Aku mulai mencurigai cheese burger nya,barangkali ada zat yang membuatnya bodoh dalam sekejap."Tapi,Aku pernah tidur dengan seorang wanita."
"Well...Kau mencintainya?"
"Ya.I really love her."
Aku menyeruput lemonade ku yang tinggal setengah lalu kembali menatap pantulan wajah Barra di air,matanya menatap lurus ke depan dan sayu seolah pikirannya tidak disini.Beruntung sekali wanita yang dicintainya.
"Siapa wanita itu? Model papan atas? Selebriti? Atau rekan kerja mu?"
"She is my mother—"
Aku refleks menyiramkan sisa lemonadeku ke wajahnya hingga mengenai mantel Louis Vuittonnya yang kelihatan masih baru.Ups.
"What the hell..Mai?!" Ia mengusap kasar wajahnya lalu menatap ku tak mengerti seolah aku orang paling aneh di dunia.
"ARE YOU INSANE?! KENAPA KAU TIDUR DENGAN IBUMU?!"
"AKU MEMANG SELALU TIDUR DENGANNYA SEJAK BAYI,WHAT HAPPEN TO YOU?!"
Eh?
Aku menggaruk kepalaku bingung,jadi bukan 'tidur' yang seperti itu toh.Aku menatapnya ragu disertai cengiran merasa bersalahku lalu mengeluarkan sapu tangan biru navy yang ujungnya kusulam dengan inisial namaku 'MH' berniat mengusap wajahnya.
"Aku bisa sendiri." Katanya mengambil sapu tanganku lalu mengusap wajahnya pelan.
Ia menyentuh sulaman itu lalu mengerutkan dahinya."Apa kau menyulam semua ujung pakaianmu?"
"Tidak semua,hanya sapu tangan dan beberapa syal dan selendang."Jawabku sekenanya kemudian membuka sekotak pizza yang mulai mendingin tanpa memerdulikannya yang terlihat tertarik dengan sulamanku.Oh My God,this pizza still looks yummy!
Kami sedang 'piknik' di pinggir East River,jam sudah menunjukkan pukul 3 subuh,hampir satu jam sejak Barra mengetuk pintu apartemenku tanpa merasa bersalah telah menganggu tidur produktifku dan dengan sintingnya mengajakku piknik di pinggir sungai tepatnya di pinggir jembatan.
Aku bahkan masih memakai setelan lengkap dengan jas lab yang belum kulepas semenjak tiba di apartemen kemarin sore.
Untung saja mantel Armani baby blueku menyelamatkan style ku yang 'enggak banget'.Ini satu-satunya barang branded yang kupunya dan kudapatkan setelah mengepel lantai dan meja di kafe Barra selama 3 tahun ini.Selama itu pula Aku hanya memakan dietary food untuk menghemat pengeluaran di tengah tingginya biaya hidup disini.
Kenapa Aku harus melakukan itu semua hanya untuk sebuah mantel? Guys,have you ever fall in love?
Aku jatuh cinta dengannya ketika terpajang di etalase toko untuk pertama kalinya dan baru memakainya sebanyak dua kali setelah kubeli yah...kita memang lebih menghargai sesuatu yang kita dapatkan dengan keringat sendiri,kan?
"Bagaimana rasanya jatuh cinta,Mai?"
"Kenapa tidak kau rasakan sendiri?"
"Kepada siapa aku harus jatuh cinta?"
Pertanyaannya terasa menggelitik telingaku,"Stupid question.Banyak yang mencintaimu,Bar.Setumpuk buket bunga di tempat sampah kerjamu itu buktinya.Kenapa kau tidak mencoba mencintai salah satu dari mereka?"
"Apa mereka benar-benar mencintaiku?" Tanyanya lagi lalu mulai berbaring di rerumputan.
"Maybe? Bahkan para wanita akan menyembahmu kalau kau mau,semua orang juga tahu kalau kau yang akan mewarisi seluruh perusahaan ayahmu yang super kaya itu."
"Apa kau juga akan menyembahku?"
"I will surely kill you if you eat junk food again."
Dia malah bangkit menyusun dua potong pizza lalu melahapnya sekaligus hingga menjilat sisa mozarella di jari-jarinya satu-persatu.Ewh.
"Sebenarnya mereka mencintaiku atau uangku?" Tanyanya lagi setelah melakukan aksi yang membuatku ingin menyeretnya ke sungai sesegera mungkin.
"Of course your money.Kau terlalu kaku untuk dicintai,kau hanya membaca perihal cinta di jurnal-jurnalmu itu dan mengemukakan teori tentang itu tanpa berkeinginan merasakan cinta itu sendiri." Aku mulai memungut sampah-sampah makanan,lalu memilah-milah yang dapat di daur ulang.
"Lalu apa bedanya denganmu? Kau juga terlalu kaku dan hanya memikirkan impian mu saja tanpa mau terlibat hubungan apapun dengan pria."
Aku menghentikan kegiatanku lalu menatapnya nyalang seakan ingin meluapkan segala yang terjadi di hidupku.
"Aku pernah memiliki hubungan dengan seorang pria dan berakhir mengalami delusi sialan ini." Sekarang mataku mulai berkaca-kaca.Ada apa ini? Aku bahkan tidak bisa mengontrol emosiku sendiri.
"Apakah kau yakin delusi itu terjadi hanya karena seorang pria?"
Barra terus bertanya tanpa memerdulikan nadaku bicaraku yang mulai meninggi.Aku mengatupkan bibirku rapat menatap seseorang yang berdiri sekitar lima langkah di depan kami hingga hampir menyentuh bibir sungai dan menatapku tanpa ekspresi hingga tak lama kemudian ia menceburkan dirinya sendiri ke sungai.
Kalau saja Barra tidak mencengkeram lenganku sambil terus menyadarkanku kalau hanya kami berdua disini,Aku juga akan menceburkan diri ke dalam sungai menolongnya seperti yang sangat ingin kulakukan 8 tahun yang lalu.
Delusi sialan ini benar-benar menyiksaku.
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
Humaira!
SpiritualDia yang terbakar lebih dulu sebelum api menyentuh kulitnya. Dia yang tenggelam lebih dulu sebelum Air melakukan perannya. Dia yang rumit serta menakjubkan. Dia yang tidak mampu berdamai dengan segala keputusan-Nya. Humaira yang bodoh sekaligus pere...