Hidden Fact

15 3 0
                                    


Hari ini Aratu akan mendaftar di pesantren yang sama dengan sepupunya.

Bukan,bukan Zakiyah.
Sepupunya yang lain,Bulan namanya.
Ia setahun lebih tua dari Aratu.

Maiwa membantu menyiapkan segala sesuatunya termasuk menyiapkan Aratu untuk segala tesnya.Ia sangat bersemangat,berbanding terbalik dengan Aratu yang menghembuskan napas berat sedari tadi seolah ada beban berat yang menghimpit dadanya.

Aratu gelisah dan cemas tentang bagaimana tesnya nanti hingga membuatnya terlihat tak bersemangat.

"Aku sudah baca semua informasinya,besok kamu akan tes wawancara jam 10." Ucap Maiwa sembari memilah-milah pakaian Aratu yang akan dibawa ke pesantren.

"Bisa nggak sih pake bahasa 'Lu-Gue' aja,Mai?"

"Kamu udah mau masuk pesantren,tinggal selangkah lagi kamu udah lulus.Ada baiknya kamu mulai menata bahasa kamu itu,jangan sampai kelepasan besok pas tes wawancara."

"Halah.Lo aja sering kelepasan.."

"Karena kamu yang manci-"

"Iyaiya,bawel ah!" Aratu menekuk wajahnya.

Fatma melengokkan kepalanya ke dalam kamar Aratu, "Jangan telat tidurnya ini udah jam 11,besok Ara harus bangun pagi-pagi buat tes.Jangan minum kopi dan jangan begadang."

Aratu semakin menekuk wajahnya sebal.Tidak ada kopi malam ini.

"Mai,udah siap semuanya?"

"Iya,Ma." Maiwa memperlihatkan isi koper yang sudah tertata rapi.

Fatma tersenyum dan beranjak meninggalkan mereka berdua.

"Tidur gih,Mai." Ujar Aratu setengah mengusir.

Maiwa menguap kemudian meregangkan badannya lalu beranjak menuju kamarnya yang terletak tepat di samping kamar Aratu.

"Mai"

Maiwa menghentikan langkahnya dan berdiri diam di ambang pintu menunggu lanjutan kalimat Aratu tanpa repot-repot menoleh ke belakang,"Hm?"

"Makasih,ya." Cicit Aratu melirik punggung Maiwa.

Mendengar itu Maiwa berbalik kemudian tersenyum tipis menutup pintu kamar Aratu.

•••

Hari ini pengumuman hasil tes Aratu.

Gadis itu tidak berhenti berjingkrak-jingkrak sejak membaca surat yang menyatakan kelulusannya.

"Alhamdulillah...Ara lulus,Ma." Fatma memeluk erat putrinya yang sangat hiperaktif itu.

"Alhamdulillah,sekarang kebiasaan jeleknya harus dikurangi,ya? biar gak susah hafalin qurannya pas disana."

"Iya,Mamaa...." Aratu memutar bola matanya jengah.

Maiwa yang pertama kali mengetahui berita kelulusan Aratu tersenyum kegirangan sejak tadi.

"Gue lulus,Mai!"

"Araa...." Tegur Fatma.

Aratu tersenyum canggung lalu menggaruk kepalanya yang tidak gatal,"Aku lulus,Maiii!!"

"Iyaiyaa...bersyukur makanya!"

"ALHAMDULILLAH!" Teriak Aratu kencang hingga terpantul di sudut-sudut rumah,lalu berlari ke kamarnya menikmati euforianya.
Fatma menggelengkan kepalanya lucu.

"Besok Kamu ikut anterin Ara ke pesantren,kan?"

Maiwa diam sejenak menatap ke sembarang arah mencari alibi yang pas untuk menolak,
"Mm...besok Mai harus belajar,Ma."

Pokoknya besok Ia harus belajar agar tidak terhitung berbohong.

Fatma menatap Maiwa sendu.
Melihat tatapan ibunya,rasa bersalah itu mulai menghinggapi hatinya.

"Besok Mai usahakan ikut,Ma."

Fatma menghela napas kemudian menunduk lalu kembali menatap Maiwa.

"Mama....Mama mengerti kesibukan Maiwa," Fatma menganggukkan kepalanya mengerti, "Makasih,Mai.Mai bisa saja tidak peduli dengan segala persiapan Ara,tetapi Mai memilih membant—"

"Mai senang bisa membantu mengurus persiapan Ara." Potong Maiwa tersenyum lebar.

Fatma menatap manik mata putri sulungnya, mencoba menerka isi pikiran gadis remaja yang mulai beranjak dewasa itu.

Akan tetapi,tatapan itu sulit diartikan.

Fatma menghela napasnya pelan,
"Ketika Mai mau masuk pesantren dulu,mental mama belum siap untuk melepas putri sulung mama di usia semuda itu.....Bahkan,3 tahun setelahnya ketika Mai lulus,Mama sempat menawari Mai untuk lanjut di pesantren tetapi,Mai menolak dan berencana mendaftar sekolah berasrama......Selama 3 tahun pula Mama menyiapkan mental Mama untuk melepas Mai di sekolah asrama nantinya." Fatma menjeda kalimatnya sejenak.

Maiwa terdiam mendengarkan,
pikirannya melayang ke 2 tahun silam ketika ia telah mendaftar masuk sekolah menengah atas yang menerapkan sistem asrama.

Sekolah yang sangat ia dambakan,hingga ia menghabiskan masa SMP-nya dengan belajar tiada henti.

Sekolah itu terletak di lereng gunung dan merupakan sekolah terbaik di negerinya.

"Detik-detik sebelum pengumuman hasil tes Maiwa,Mama tidak henti-hentinya berdoa meminta yang terbaik......Untuk Maiwa dan Mama.Ketika pengumuman itu akhirnya keluar,Mama menyadari satu hal."

Fatma tersenyum tipis dengan tatapan sendunya,"Allah juga belum ingin memisahkan Maiwa dari Mama." Fatma mengelus surai Maiwa lembut,
ia menahan napas sejenak menahan agar air yang menggenang di pelupuk matanya tidak tumpah.

Ia sudah memendam ini sekian tahun.

"Allah tahu mana yang terbaik untuk kita berdua.Mama lega tetapi di sisi lain Mama  sedih...sedih melihat perjuangan Maiwa,sedih melihat buku-buku Maiwa dan yang lebih menyedihkan...
....saat itu Maiwa memilih untuk berpaling ketimbang menerima takdir-Nya."

Maiwa memalingkan wajahnya,tidak sanggup menatap sorot redup bola mata itu.

Tak bisa dipungkiri,hatinya juga merasa lega dan sakit disaat yang bersamaan.

Rasa sakit pastinya selalu mendominasi ketika ingatannya kembali ke momen pengumuman itu.Ia bahkan dapat merasakan dengan jelas atmosfir sejuk pegunungan yang sangat ia sukai,namun lama kelamaan atmosfir itu membuatnya menggigil kedinginan sedingin pengumuman kegagalannya hari itu.

"Mai,ingat saat itu? Ketika Mama menyuruh Mai sholat dan dengan entengnya Mai bertanya 'Untuk apa?'...." Fatma tersenyum miris,setetes air mata jatuh menyusuri pipinya, "Mama merasa jauh lebih gagal saat itu."

Maiwa terisak pelan.

"Cukup...Mai-Maiwa minta maaf...." Maiwa menginterupsi dengan suara bergetar.

Keheningan ruang keluarga pagi itu semakin menambah suasana pilu di antara mereka.

"Mai merasa gagal.Gagal membanggakan orangtua,merasa segala usaha Mai tidak berarti dan Mama......
......Mama merasa gagal menjadi orang tua." Lanjut Fatma,
"Mama bingung,saat Mama tidak memenuhi permintaan Mai untuk sekolah di pesantren mengapa Mai tidak pernah membenci mama sampai hari ini?.......Bahkan,hingga hari ini Mai tidak mempermasalahkan Aratu yang boleh di pesantren sedangkan Mai tidak." Fatma mencoba menatap mata putrinya tetapi Maiwa masih setia memalingkan pandangannya,tidak ingin ditatap.

Fatma tersenyum lembut,"Maiwa ikhlas begadang demi membantu Ara mempersiapkan segala sesuatunya tanpa menuntut apa-apa.....Bahkan,disaat dunia sedang tidak berpihak pada kita,Maiwa memilih tetap menjadi baik......"

Fatma memeluk putrinya lembut,gadis itu sesenggukan menahan tangis mendengar fakta dibalik sikap overprotektif mamanya selama ini.

Fatma menyenderkan dagunya di puncak kepala Maiwa.

"Berhenti menyalahkan diri sendiri dan takdir-Nya.....Maiwa selalu membanggakan."

Tangisan itupun pecah.

Humaira!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang