Setelah Insiden Khayana beberapa bulan yang lalu,Aku tidak pernah mengangkat panggilannya lagi.
Bukan sengaja mengabaikan,tapi segala kesibukanku sukses membuat perhatianku teralih hingga lupa mengisi daya ponsel kesayanganku yang satu itu dan berimbas ke kartu perdana yang mati.
Aku akui kecemburuanku hari itu memang tidak beralasan.
Hanya saja ada sebagian dari diriku yang belum bisa menerima fakta bahwa Khayana sepenting itu bagi Zain.
Aku benar-benar seperti orang yang dihubungi hanya untuk curhat semata.Aku rindu berbincang mengenai kegiatan masing-masing,goals dalam hidup,topik-topik berat yang mampu mengubah pola pikirku hingga yang receh sekalipun seperti Zain yang memaksa berbicara dengan adikku yang tentunya tidak kutanggapi.
Namun,rasa penasaranku tentang Khayana menghancurkan kenyamanan itu.
Ataukah kenyamanan ku saja?"Udah selesai,Mai?"
Pertanyaan Haina mengembalikan fokusku ke laptop yang berada di hadapanku.
"Tinggal Kesimpulan,Na." Jawabku lalu menyeruput hot dark chocolate favoritku.
Haina memijat lehernya lelah sembari bersandar di sofa.
Berkutat dengan Laporan praktikum Kimia selama dua jam memang menguras tenaga.Kami bahkan belum mengganti seragam sekolah akibat rencanaku yang tiba-tiba ingin menyelesaikan Laporan di kafe ini.
Semoga saja bau Kami tidak tercium pengunjung lain.Haina mulai membereskan barang-barangnya di atas meja lalu memasukkannya ke dalam tas.
"Laporanmu sudah,Na?"
"Hm." Gumamnya lelah.
Wajahnya bahkan telah menyiratkan ekspresi 'menyerah'."Masih sanggup bawa motor,Na?" Tanyaku ragu.
Ia bergumam lagi kemudian terkulai lemas di sofa dengan mata 5 wattnya.
Melihatnya seperti itu keraguanku bertambah.Setelah mengecek keseluruhan laporan lalu memindahkannya di flashdisk,aku melirik jam tanganku dan nyaris mataku keluar dari tempatnya.
Setengah 9 malam!
Aku segera mencari ponselku di atas meja layaknya orang kesetanan hingga Haina terlonjak kaget.
Setelah menemukannya aku menghela napas lega sekaligus aneh.
Tidak ada notifikasi panggilan maupun pesan dari Mama."Pulang yuk,Na."
Haina mengambil tasnya kemudian berjalan gontai mengikutiku
menyelesaikan pembayaran.Tubuhku rasanya tak kalah remuk dari Haina."Mai?"
"Hm?"
"Berantem ya?"
Aku mengernyit bingung menatapnya yang menatapku sayu.
"Berantem apa,Na?"
"Zain."
"Random banget sih,Na.Sumpah." Kekehku sembari menempelkan tangan di keningnya mengecek suhu tubuhnya.Entah kemana perginya kewarasannya kali ini.
"Lo beda soalnya."
Heh?
"Beda gima-"
"Totalnya 30 ribu."
Aku segera menyelesaikan pembayaran dan menarik Haina yang pasrah saja ditarik-tarik.Pertanyaan Haina membuatku memikirkannya lagi.
Apa Aku terlalu berlebihan kali ini?
•••
Zain mengetuk-ngetukkan jarinya di kaca.
Tidak ada tanda-tanda jawaban dari seberang sana,panggilannya dialihkan berkali-kali.Ia terus mencoba menelpon nomor itu 6 Bulan belakangan ini tanpa lelah.
Ia berbalik ke belakang menatap santri yang mengantre di belakangnya juga ingin menelepon di wartel ini.Jadul serta unik.
Wartel ini memang dibuat khusus santri yang ingin melepas rindu dengan bertelepon ria dengan sanak keluarga,meskipun ada juga yang sembunyi-sembunyi menelepon gebetan maupun pacar.Tut...tut...tut..
Kesekian kalinya nada menyebalkan itu memenuhi indera pendengarannya.
Zain memutuskan menutup teleponnya lalu menuju ke aula dengan perasaan gusar.Ia pasti terlambat kajian kitab.
Sepasang mata bulatnya menangkap seniornya sedang berjalan lurus ke arahnya dengan setelan jas serta sejadah yang tersampir rapi di bahunya.
Plak
Seharusnya ia merasakan panas yang menjalar ketika tamparan itu mendarat di pipinya tanpa prolog seperti biasa ketika ia membuat kesalahan.
Nyatanya,tamparan seniornya tidak lebih panas dibanding api yang tersulut di dalam dirinya ketika nada telepon itu terngiang-ngiang di kepalanya.
•••
Apa Saya sudah pernah bilang?
Saya beruntung menulis ini untuk pembaca seperti kalian.Meskipun masih ada yang silent reader,tanpa vote dan comment:)
Terima kasih banyak sudah setia membaca kelanjutan tiap part ini.Saya akan berusaha agar tidak mengecewakan kalian.
Siap-siap membaca part selanjutnya!Terima kasih juga khususnya kepada Jemeisje_ juga annrtsaniya yang telah mengikuti cerita ini dan senantiasa memberikan semangat meskipun sekedar vote:)
-s.e.m
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
Humaira!
SpiritualDia yang terbakar lebih dulu sebelum api menyentuh kulitnya. Dia yang tenggelam lebih dulu sebelum Air melakukan perannya. Dia yang rumit serta menakjubkan. Dia yang tidak mampu berdamai dengan segala keputusan-Nya. Humaira yang bodoh sekaligus pere...