Aku tidak pernah membayangkan akan melangkahkan kakiku ke gedung mewah ini dari sekian banyak gedung yang menjulang tinggi di New York.Orang-orang terlihat sibuk keluar-masuk gedung.Keraguan menghampiriku lagi.
Perempuan di balik meja besar itu menatapku tersenyum ramah."May I help you?"
"Um...I want to meet Mr.Xabarra Neuvou."
"Wait...with Ms.?"
"Humhum."
Dia menganggukkan kepalanya kemudian berbicara sesuatu di telepon.Tak lama kemudian ia menutup teleponnya lalu menatapku lagi masih dengan senyum ramahnya.Sepertinya ia sudah terlatih untuk terus tersenyum sepanjang hari.
"Ms.Humhum,Follow me,please.."
Aku mengikuti langkahnya hingga masuk ke dalam lift.Ia memencet tombol lift kemudian aku merasakan lift bergerak ke atas.Hingga tak lama kemudian dentingan lift terdengar dan pintunya segera membuka.
Kami menyusuri lorong panjang yang dipenuhi lukisan abstrak tiap dindingnya.Ia menghentikan langkahnya di depan pintu kayu hitam tebal.
"He is inside." Kata perempuan itu tersenyum kemudian berlalu.
Sekilas aku membaca Nametag-nya.Scarlett.Aku mengetuk pintu tiga kali lalu membukanya.
"Is it very important? Sampai kau repot-repot datang kemari,Dokter Maiwa?"
Sesibuk itukah? bahkan ia tidak menatapku ketika menanyakan itu.
"A-Apa Aku mengganggumu?"
"Take a sit,please."
Sesuatu menarik perhatian ku di rak dekat meja Barra.Jam pasir.
"Don't touch it." Sekarang Barra memejamkan matanya sambil menyandarkan kepalanya di kursinya yang kelihatan....empuk?
"It's just interest me."
"That's my favorite." Katanya lagi masih memejamkan matanya.
Aku mengabaikan jam pasir itu dan mendudukkan diri di kursi yang berseberangan dengannya.
"Apa kau biasa menghabiskan waktumu di ruangan ini?"
"Ya.I named it 'Barratory'."
Aku mengedarkan pandangan kesekeliling ruangan, "Barratory? Jujur,ini terlihat seperti......perpustakaan."
"Kau tidak repot-repot kesini hanya untuk mengomentari ruanganku,kan?"
Dia membuka matanya serta membenarkan posisi duduknya lalu menatapku serius.
"Hmm....ya.Aku ingin mendaftar."
Aku menunduk memainkan jemariku gugup."Aku tidak sedang membuka lowongan—"
"Sebagai pasien."
Tidak ada respon apapun dari Barra.
Aku merasakan suasana yang semakin aneh dan tegang? Entahlah.
Aku merasakan keringatku mengalir di punggungku yang tertutup blouse serta coat tebal.Aku memberanikan diri melihat ekspresinya.
Tidak ada ekspresi terkejut disana.Hanya ekspresi datar yang kudapatkan."Alright,apa yang Anda rasakan,Dok?"
"Mm...Aku mengalami delusi?"
"Delusi seperti apa?"
"Bermacam-macam.....Entahlah,sepertinya aku mengidap Skizofrenia."
"Let's see.." Barra mulai mencorat-coret sesuatu di kertas, "First,kau meresepkan obatmu sendiri,Barbital itu.Second,kau mendaftarkan dirimu sendiri sebagai pasien.Third,kau mendiagnosa penyakitmu sendiri."
Barra menyandarkan kepalanya lagi lalu memijit hidungnya pelan,
"Seriously,Mai.ARE YOU CRAZY?!"Hampir saja Aku dilarikan ke rumah sakit akibat serangan jantung.
Gemas rasanya ingin menggantikan Barra duduk di kursi itu.
Demi kerang ajaib,Barra itu lebih cocok meracik kopi dibandingkan menjadi psikolog ternama yang dielu-elukan seperti saat ini.
Lihat saja betapa amatir sekali psikolog satu ini.Ia bahkan baru saja meneriaki pasien barunya!
"Apa tiga pernyataanmu barusan belum cukup untuk menjawab pertanyaan bodohmu itu,Mr.Xabarra?"
Melangkahkan kakiku ke sini saja sudah merupakan keputusan tergila di hidupku dan pria dibalik meja itu masih menanyakan kewarasanku juga?
Ia menarik napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya pelan,"I really sorry,Mai.Apa ada keluhan lain yang bisa membuatku lebih mudah mendeteksi apa yang terjadi denganmu?"
"Sebelum lebih jauh,Aku ingin tahu.....berapa harga termurah dari pelayananmu ini."
Yah,meskipun aku tahu semurah apapun itu tetap saja membuatku tertatih-tatih membayarnya.
"Skizofrenia terlalu fatal untuk kau yang menginginkan harga termurah,Mai.
But,sebelum itu Aku harus memastikannya terlebih dahulu melalui keluhan-keluhanmu itu,lalu mematok harga yang pas."Ya,itu terlalu fatal.Tidak ada obat untuk menyembuhkan Skizofrenia hingga saat ini,hanya terapi berkepanjangan serta obat untuk mengendalikan gejalanya.
No.Aku tidak ingin obat-obatan seperti itu.
Barbital di lemari obatku saja tidak pernah kukonsumsi setetespun meski delusi serta gangguan tidurku sudah memasuki level gawat.
Jika dugaanku benar,Aku harus memutar otak untuk mencari uang di tengah kondisi mentalku yang seperti ini di New York.
Aku bahkan tidak yakin apakah Barra masih akan mempekerjakanku di kedainya lagi setelah ini atau tidak.Aku menghilangkan pikiranku tentang biaya yang akan kukeluarkan.Aku sudah tidak peduli.Barra harus membantuku tanpa obat-obat itu.
Barra masih menatapku dengan tatapan berpikirnya seakan menerka-nerka hal gila apa yang terjadi di dalam kepalaku.
"Barra.." Panggilku pelan,alisnya semakin bertautan.
".....Would you mind to be my 'Barrabital'?"
•••
KAMU SEDANG MEMBACA
Humaira!
SpiritualDia yang terbakar lebih dulu sebelum api menyentuh kulitnya. Dia yang tenggelam lebih dulu sebelum Air melakukan perannya. Dia yang rumit serta menakjubkan. Dia yang tidak mampu berdamai dengan segala keputusan-Nya. Humaira yang bodoh sekaligus pere...