Tujuh belas

1.5K 329 79
                                    

Mereka dikelilingi oleh empat orang asing, kecuali Taeyong dan Vivi. Jisoo berdiri di samping Mark yang sempat membuat pria di samping kanannya mendengus tak suka. Pertanda kalau dia masih belum merelakan Jisoo berdekatan dengan pria lain, walaupun pria itu adalah pengawalnya. Dasar!

Sementara dua pria duduk di sofa, satu berdiri tak jauh dari Vivi, dan satunya lagi duduk di kursi putar sambil memandang mereka bergantian. Bukan Ten ataupun Jackson, kedua bodyguard itu menunggu di luar, berada di tempat mereka seharusnya. Hanya tinggal mereka berdelapan di dalam studio milik Mad Dog.

“Mereka siapa?” tanya si pria bertubuh besar. Ekspresinya sarat ketidaksukaan, berwajah tegas dan garang-pasti banyak yang lari ketakutan saat mendekatinya dan melihat ekspresi bengisnya. Alis pria itu tebal dengan hidung besar, dan pipi bagian kirinya memiliki bekas codet yang dalam. Taeyong memiliki bekas codet di dekat matanya, tapi tak sedalam bekas pria itu. Dan dia memiliki badan lebih besar ketimbang tiga pengawal: dua milik Taeyong dan satu milik Jisoo. Cocoklah kalau-kalau dia berminat untuk menjadi seorang pengawal.

“Boleh minta tolong, ambilkan P3K dan air dingin?” pinta Jisoo menyela si pria besar bernama Baekho, manajer Mad Dog.

Tatapan Baekho sengit, pertanda tidak suka pertanyaannya di sela, terlebih oleh dirinya, wanita asing yang tak tahu sopan santun. Namun, Jisoo mengabaikan, dia tidak terlalu takut dengan tatapan bengis Baekho kepadanya. Mata pria itu tak sebanding dengan bola mata hitam ayahnya yang tanpa melotot pun dia sudah menakutkan.

Seorang pria ber-hoodie hitam datang memberikan sekotak P3K kepada Jisoo. Kepergiannya mengambil peralatan P3K sama sekali tidak terdeteksi oleh mereka. Dia memberikan peralatan itu sembari tersenyum ramah. Akhirnya, ada juga orang ramah di sini. Jisoo menerima dengan senang hati, dan siapapun namanya, Jisoo sangat berterima kasih karena dia telah berbaik hati.

“Aku tidak apa-apa,” kata Mark menolak diobati.

Baginya, bekas luka pukulan Taeyong di wajahnya bukan apa-apa. Dia sudah tidak merasakan nyeri di bagian pipi kiri yang kini membiru, lalu ada luka sobek di sudut bibir Mark. Penyebab luka itu bukanlah pukulan Taeyong, melainkan dialah yang menyebabkan bibirnya sendiri sobek. Kebetulan saat pukulan itu melayang ke udara dan menyentak wajahnya, dia tengah mengigit bibir karena terlalu antusias.

Jisoo mendelik kecil, menentang penolakan Mark, sambil berkata kalau dia tidak akan membuatnya kesakitan. Hanya sentuhan ringan di lukanya, itu saja. Serta merta mengabaikan pandangan orang-orang, Jisoo mempusatkan diri untuk mengobati Mark sebelum berbicara dengan mereka semua. Atau mungkin, mengajak mereka berkenalan supaya tidak ada kecurigaan.

“Biar aku saja!” tukas Taeyong merebut kapas dari tangan Jisoo. Mengambil alih mengobati luka Mark dengan sedikit paksaan.

Seraut Mark kelihatan tegang karena seseorang yang sedang mengobati lukanya. Dia memutar bola mata ke ke depan, lalu bertemu mata dengan wanita yang berada di balik punggung Taeyong. Jisoo lantas tersenyum padanya; Mark dengan rikuh membalas.

Mereka yang melihat seolah sedang menyaksikan salah satu adegan di Netflix saja. Kedua pria di sofa samar-samar menyeringai, sedangkan Vivi kelihatan sekali jengkel yang kemudian memilih keluar tanpa pamit. Sementara Baekho masih dengan pandangan sengit terhadap Jisoo.

“Dia tidak takut padamu,” ujar si pria ber-hoodie hitam yang terkekeh bersama si topi merah.

“Mereka bukan orang jahat,” komentar pria si pemakai kursi putar. “Bukan begitu, Lady?” Pandangan mereka bertemu, saat itulah mereka saling bertukar senyum.

Lalu terdengarlah desisan menyalang dari pria yang baru selesai mengobati luka Mark. “Berhenti menatapnya begitu, dia bukan fans.” Percikan api cemburu menyalang di matanya.

Cara | Taesoo [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang