Dua puluh empat

1.2K 240 64
                                    

Begitu sampai van, Taeyong langsung terkesiap menjumpai van kemah kosong. Dia tidak menemukan Jisoo di manapun. Meskipun berteriak memanggil sembari mengelilingi jalanan sekitar, barangkali Jisoo sedang melihat-lihat selama menanti kepulangannya, hingga sampai perbukitan, dia tetap tidak menemukan Jisoo.

Kekasihnya menghilang. Ya Tuhan! Dengan kalut Taeyong berlari menuruni perbukitan, bergegas mencapai van, dan sesekali mencoba menghubungi ponsel Jisoo. Satupun panggilannya tak terjawab. Taeyong menggeledah isi van, mencari-cari petunjuk yang bisa membuktikan kalau Jisoo diculik atau apalah—pikirannya kacau sekarang! Sehingga tega membuat van mewahnya berantakan.

Matanya membara oleh api kepanikan begitu menemukan ponsel Jisoo tergeletak di sofa. Handuk yang dipakai untuk mengeringkan rambutnya tersampir di tempatnya. Taeyong memandang rak sepatu di dekat lemari dan menyadari kalau sandal Jisoo tidak ada.

Bukan penculikan, pikirnya mencoba positif, menyikapi baik-baik dengan kepala dingin, Jisoo pergi, bukan diculik.

Dia menyakini hal tersebut. Tempat ini sangatlah aman, Taeyong 100% menyakini, kalau tidak untuk apa mereka berkemah kemari. Lagi pula, ini bukan pertama kali bagi Taeyong berkemah di sini. Di tempat inilah dia bersama keluarganya berkemah. Dekat danau yang memiliki perbukitan rendah di sebrang sana dengan pemandangan adiwarna, Taeyong sudah merencanakan akan mengajak Jisoo ke bukit selesai makan malam. Namun, wanita itu tiba-tiba pergi.

Dia tidak tahu mesti mencari ke mana. Mendapati van kemah kosong tanpa seorang wanita menunggu, membuat dada Taeyong sesak. Belati perunggu seolah menikamnya dari depan. Terlebih sekarang dia tidak mendapatkan gambaran ke mana Jisoo pergi dan bersama siapa.

Taeyong terduduk nelangsa di sofa. Meremas kepalanya kuat-kuat sambil berharap Jisoo menghubunginya. Hanya itu harapan yang dimilikinya saat ini.

...

“Boleh pinjam ponselmu?” Dia lupa membawa ponselnya, terlambat kembali, sekarang mereka berada di puluhan kilometer meninggalkan van kemah.

Jauh-jauh Mark menghampirinya sekadar menyampaikan pesan kalau Seunghyun sudah ada di-penthouse mencarinya. Dia bilang ayahnya bermuka masam, yang mengartikan bahwa dia kesal setengah mati tidak menemukan Jisoo di tempat Doyoung. Semakin kesal lagi menghubungi ponselnya, tetapi tak ada balasan darinya. Perjalanan kemah bersama Taeyong membuat Jisoo melupakan benda canggih tersebut.

Jisoo merasa bersalah. Sebab itu, dia memilih pulang cepat mengikuti ajakan Mark. Bahkan sebelum Taeyong kembali dari minimarket. Gambaran Mark tentang Seunghyun membuat tekad Jisoo bulat untuk meninggalkan van kemah pada sore itu juga. Enggan membuat sang ayah murka, apalagi kalau sampai menyalahkan Taeyong. Lagi pula, dia bisa pamit ke Taeyong saat di mobil, yang bodohnya ternyata dia lupa membawa ponsel.

“Aku lupa membawa ponselku. Dan ... kau tahu, kita meninggalkan kemah tanpa pamit Taeyong.”

Pemuda itu mengangguk mafmum. “Sebutkan nomernya biar kuhubungi dia untukmu.” Sambil mengeluarkan ponsel dari saku celana, dan mulai mengetikan deretan angka berdasarkan ejaan Jisoo.

Beruntung sekali dia mengingat 12 digit angka Taeyong. Jisoo merasa lega sekaligus bersalah. Taeyong pasti tengah dirundung kepanikan begitu menyadari kalau dia tidak ada di sana. Pria itu pasti sudah mencari keberadaannya, mengira bahwa dia diculik. Bodoh! Harusnya dia menunggu Taeyong, lalu mengajak pria itu pulang bersama-sama tanpa perlu meninggalkan satu sama lain.

Jisoo melirik Mark, menunggunya. Mark tiba-tiba datang melihatkan ekspresi panik dan mendesak supaya Jisoo segera pulang bersamanya. Dia memahami alasan mengapa pria itu panik dan tergesa-gesa. Seunghyun pasti sudah mengancamnya sehingga memaksa Mark datang kemari sebelum emosinya meledak.

Cara | Taesoo [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang