Enam belas

1.4K 346 98
                                    

Mata Jisoo melayang ke kafe. Di sudut ruang, dekat jendela kaca mengarah ke jalan raya, ada sepasang wanita tengah mengambil foto, mengabdikan pertemuan mereka, dan di sebrangnya ada seorang pria berjas sedang sibuk menarikan kesepuluh jarinya di keyboard Laptop. Sesekali menyesap kopi, lalu menggerutu kecil lantaran terganggu keributan bangku depan mejanya, sambil menatap sinis sekelompok kecil remaja tersebut.

Empat remaja mengisi setiap bangku yang mengelilingi meja, mereka berisik—alasan mengapa pria berjas itu menatap tajam ke arah mereka. Namun, sepertinya keempat remaja itu tidak peduli. Mereka tetap seru dengan obrolan mereka yang semakin mengisi keramaian kafe sore ini. Lalu meja dekat pintu, sekelompok lebih besar berjumlah tujuh orang terlihat sibuk dengan laptop masing-masing. Jisoo menebak mereka adalah anak kuliahan yang tengah menyelesaikan tugas akhir. Barangkali begitu, well, itu hanya dugaan sementara hasil pengamatan dia.

Jisoo sudah di kafe sejak tiga jam lalu. Lama sekali, ‘kan? Sengaja bertahan lama sekadar untuk menikmati suasana kafe di pusat perkotaan. Kali-kali menikmati kafe di perkotaan, walaupun suasana tak jauh berbeda dengan kafe Ma Charie. Namun, ada kesan tersendiri yang dapat dibandingkan dari kedua kafe tersebut.

Di sini Jisoo mendapatkan pemandangan perkotaan, jalan raya dengan mobil melintas silih berganti, gedung-gedung menjulang tinggi, orang berlalu lalang dengan pakaian formal, lalu di sebrang lampu lalu lintas terdapat mobil polisi yang tengah melakukan patroli. Disamping itu, Jisoo menjumpai pengunjung dengan beragam usia. Usia pengunjung kafe beragam, ada yang berpakaian formal; informal, ada yang berkelompok; berpasangan; sendiri, dan ada satu keluarga bersama sepasang anak kembarnya.

Jisoo duduk di bangku tengah. Satu-satunya tempat dengan meja setinggi lengan Jisoo, kursi setinggi pinggangnya berjejer mengelilingi meja. Mejanya memanjang dengan pembatas kaca di tengah. Ada tiga pot bunga mengisi meja dan mempercantik penampilan. Lalu di samping terisi bangku-bangku tinggi yang kosong belum berpenghuni. Hanya ada Jisoo, Mark, dan satu pengunjung yang datang sendirian. Dia tampak sibuk dengan novel dengan telinga terpasang earphone.

Mark lebih banyak diam dan mengamati. Pria muda itu akan berbicara jika diperlukan, misalnya saat dia ingin bertanya atau menawarkan sesuatu kepada Jisoo. Tentu saja dia akan membalas jika Jisoo mengajaknya berbicara. Selebihnya dia hanya pria kaku yang menjadi pengawal pribadi Jisoo sementara.

Jisoo mengetuk-etukkan jari di meja. Bosan mulai dirasa. Ia jenuh setengah jengkel dengan pertanyaan yang mengepung dirinya. Pertanyaan yang tidak jauh-jauh dari Taeyong. Menanyakan, kapan mereka bertemu? Apa Taeyong melupakannya? Kenapa nomernya belum bisa dihubungi? Perlukah dia mengirimnya pesan? Apa perlu dia menerima tawaran Doyoung?

Ya Tuhan, rasa-rasanya kepala Jisoo mau meledak. Pertanyaan itu ada sedemikian menyiksa karena Jisoo merindukan pria itu. Mereka berada di kota sama, lalu mengapa untuk bertemu sulit sekali?

Helaan napasnya terdengar berat. Jisoo menundukkan kepala, menyembunyikan wajah ke dalam lingkaran tangan di atas meja, lantaran tak bisa menjawab semua pertanyaan di kepalanya.

Apa perlu aku pulang saja?

...

Baekho menolak gagasan Taeyong untuk mengembalikan ponselnya sementara. Manajernya itu susah sekali berbaik hati dengan artisnya. Dia selalu berdalih bahwa ponsel akan tetap bersamanya selama lagu belum selesai, dan meminta supaya Taeyong tetap fokus dengan album. Bahkan mengancam tidak akan mengembalikan ponsel Taeyong kalau dia nekat meminta.

Sebetulnya Taeyong bisa membeli ponsel baru. Baginya membeli ponsel canggih bukanlah prakara sulit. Dia memiliki uang dengan jumlah tak terhingga. Lantas, mengapa dia tidak membeli ponsel baru? Dia bisa membeli lebih dari lima ponsel atau bahkan membeli satu konter.

Cara | Taesoo [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang