8 // Pilihan Hati Anneta

226 65 17
                                    

Kadang manusia tak dapat mengikuti kata hatinya sendiri. Bukan karena tidak bisa ataupun tidak mau, tapi karena manusia terkadang masih bingung untuk membedakan, manakah suara yang berasal dari hati dan mana yang berasal dari pikiran.

•••

Ariel dan Anneta sibuk membuat hidangan baru. Anneta merasa bosan. Ia sejujurnya tidak terlalu suka memasak makanan aneh-aneh bak para chef profesional. Daripada memasak, sepertinya akan lebih nikmat jika hanya memakannya saja.

"Sekarang kamu belajar masak menu baru." Ariel mempersiapkan peralatan masaknya. "Anak gadis itu, harus pinter masak," tambah Ariel.

"Iya Mami.." Anneta kini menyelipkan rambutnya yang tergerai ke belakang telinga.

"Astaga Ann, itu rambutnya diiket dulu. Ntar kalau ada satu atau lebih rambut yang masuk ke makanan, gimana? Kan nggak lucu. Kita itu harus belajar hidup clean dan higienis," ceramah Ariel ke Anneta.

"Iissh, Mami lebay deh!"

"Loh, kok Mami dibilang lebay?"

Anneta menghela napas ketika mendapat ceramahan yang sudah semakin nyaring. Tanpa basa-basi, gadis itu langsung menguncir rambutnya. Ia mengambil jedai yang terjepit di baju, kemudian mulai menggulung rambutnya ke atas agar nanti Ibunya tidak memberi ceramahan bagaikan Pak Susilo yang selalu memberi amanat panjang lebar ketika ada upacara bendera di sekolah.

"Oke, pinter. Sekarang yang kamu harus lakuin adalah," ucap Ariel sembari memberikan beberapa bawang, "cincang bawang putihnya."

Anneta berdehem. Jika ia disuruh memasak makanan simpel seperti nasi goreng, rendang, telur rebus, mie instan, tempe dan tahu goreng, maka ia akan memasaknya dengan senang hati. Tapi tidak dengan keinginan Ibunya. Ibunya itu selalu ingin melakukan eksperimen dengan membuat masakan baru dan langsung memberikannya nama yang aneh. Bahkan Anneta sendiri kadang tidak mengerti, entah bahasa planet mana yang Ibunya selalu gunakan untuk menyebutkan nama masakan.

"Ann, cincangnya yang bener dong. Masa kayak gitu?" omel Ariel. "Anaknya chef Ariel, bukan sih?"

"Ini udah bener Mami!" ujar Anneta tak mau disalahkan.

"Loh bener apanya sayang? Liat nih! Masa begini?"

Anneta akhirnya hanya mengangguk pasrah dan mulai mengikuti keinginan Ariel. Ia sangat malas jika disuruh berdebat dengan Ibunya. Karena ia tahu bahwa dirinya pasti akan selalu kalah dalam perdebatan itu. Omelan khas ala emak-emak, memang tak ada tandingannya.

Buliran air hujan mulai tampak pada jendela dapur. Tetes demi tetes, air itu jatuh begitu saja.

"Mi! Hujan, Mi!" seru Anneta girang.

"Iya Mami tau itu hujan, Ann," balas Ariel. "Kamu jangan main hu—"

Kalimat Ariel terputus ketika melihat Anneta sudah langsung keluar dari dapur. Gadis itu berlari ke luar rumah, bermain hujan seperti hal yang biasa ia lakukan sejak kecil.

Melihat putrinya yang berlari kesetanan dan meninggalkan pekerjaannya hanya demi bermain hujan, membuat Ariel geleng-geleng. "Hadeh, punya anak satu, tapi hobinya malah main hujan." Perempuan paruh baya itu menggaruk keningnya. Ia selalu merasa heran dengan Anneta. Entah kenapa gadis itu selalu bermain hujan-hujanan seperti anak kecil.

Anneta selalu merasa senang bermain hujan. Gadis itu sering merasa bahwa jika ia sedang bersedih, maka hujanlah yang akan menjadi sahabatnya. Karena saat ia sedang menangis di bawah hujan, tidak ada satu orang pun yang akan mengetahui hal itu. Selain itu baginya, hujan memiliki kenangan tertentu. Ia merasa hujan selalu datang dengan sejuta kenangan di masa lalu untuk membawanya pada keindahan hari ini.

Lintang Waktu ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang