10 // Tak Bisa Lepas Darimu

233 63 9
                                    

Apa semudah itu cinta datang? Hanya dengan melihat dia untuk pertama kalinya, bisa menumbuhkan rasa cinta yang penuh arti.

•••

Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Sebentar lagi bel pulang sekolah akan berbunyi. Semua murid masih sibuk mendengar penjelasan guru di depan. Kemalasan mereka di jam-jam terakhir seperti ini sudah bagaikan lampu yang sebentar lagi akan padam. Ya ... mengantuk.

Sudah lima jam semenjak kejadian mengejutkan tadi, mereka berdua saling diam dan tak berbicara. Anneta masih terdiam canggung, jantungnya masih berdetak tak karuan. Apalagi ketika melihat Bara yang duduk di sampingnya. Jika dilihat-lihat, Bara juga terdiam kaku. Tunggu! Bukannya Bara memang selalu seperti itu?

Bara masih tak bersuara dengan tenang. Cowok itu tampak sangat cuek dengan wajah datar khasnya. Kadang Anneta sendiri bingung, apa Bara terbuat dari dinding, jalan tol ataukah wajahnya memang sengaja disetrika agar menjadi lurus dan datar seperti itu? Apa Bara tidak merasa canggung juga sepertinya? Apalagi barusan Anneta menyatakan cinta dengan begitu terang-terangan. Anneta merasa ragu, gadis itu menyenggol Bara pelan.

"Ngapain masih nyenggol-nyenggol?" tanya Bara datar.

"Oh sorry, kebiasaan." Anneta menggigit bawah bibirnya gugup. Dapat dilihat dari wajah nervous-nya, ia seperti merasa tidak enak dengan Bara. Apalagi ketika melihat cowok itu tetap saja cuek dan langsung memalingkan wajah darinya. "Bara marah ya?" tanya Anneta ragu.

"Nggak," balas Bara datar tanpa ekspresi.

"Bener nggak marah?"

Bara tak menjawab. Cowok itu masih sibuk membaca buku-buku di mejanya.

"Tuh kan, Bara marah..."

"Nggak."

Anneta mulai cemberut, "Trus kok diem mulu dari tadi?"

"Kayaknya bukan hal baru di dunia ini kalau gue diem."

Anneta mengangguk, ia selalu saja dapat dibuat mati kutu dengan jawaban pemuda di sebelahnya ini. Itulah Bara, yang selalu irit dalam berbicara. Jika tidak berurusan dengan hal penting yang membuatnya harus buka suara, ia lebih memilih untuk diam.

"Lo keberatan ya kalau gue suka sama lo?"

"Nggak."

"Makanya lo diem mulu ya? Lo pasti keberatan, kan?"

"Nggak."

Anneta berdecak sebal, "Kok jawabnya 'nggak' mulu?"

Bara menghembuskan napas berat, "Trus lo maunya jawaban apa?!" Bara terlihat mulai kesal, tapi dengan pintar ia mengontrol dirinya.

"Ya itu juga sih," balas Anneta gugup.

Bara menggelengkan kepalanya heran. Jika saja Anneta adalah Dimas, mungkin sudah ia jitak sedari tadi. Tapi tetap ia urungkan niatnya itu. "Kalau gini makin stres gue lama-lama!"

"Kita udah lima jam nggak ngobrol dari tadi loh."

"Sepengen itu lo ngobrol sama gue?"

Anneta menggidik bahu, "Ya ... iya."

"Oh."

"Udah itu aja?"

"Hm," balas Bara datar seperti biasa.

"Iiihh kenapa sih nggak bisa sweet kayak sahabat cowok gue dulu?"

"Ya udah, lo ajak aja sahabat lo ngobrol. Ngapain gue?"

Lintang Waktu ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang