24 // Hidup Atau Mati?

270 58 51
                                    

Luka yang bersemayam serta batin yang tertekan, bisa saja dipendam dalam-dalam. Tapi tak dapat dipungkiri lagi, jika luka yang dipendam dapat membunuh seseorang secara perlahan-lahan.

•••

Dua bulan tanpa Anneta.

Anneta tak kunjung bangun dari komanya, membuat Bara seperti tak memiliki semangat hidup. Selama itu juga Bara selalu menghabiskan sisa harinya setelah pulang sekolah di rumah sakit.

Bara mengalami kehancuran yang teramat. Selama ini ia merasa tersiksa, tak ada Anneta yang selalu berulah dan mengisi hari-harinya. Bahkan untuk makan dan tidur saja, ia merasa kesulitan.

Bara seketika beringsut lemas, nyawanya seperti direnggut secara paksa. Tubuhnya terasa lemas untuk digerakkan, hatinya seperti teremas perih membuat pikirannya semakin rusak.

Ariel menangis pasrah, ia mulai memikirkan hal-hal aneh. Perempuan paruh baya itu terlihat sangat depresi, raut wajahnya memucat. Segala semangat dan gairah untuk tetap hidup seakan menghilang.

Bara menyentuhnya pelan, "Tante istirahat aja di rumah. Ann biar saya yang nungguin di sini."

Perempuan paruh baya itu meneteskan air matanya, dia mengangguk. "Amar, nanti kalau ada apa-apa, telpon Tante."

"Nggak bakal ada apa-apa Tante," lirih Bara.

Perempuan paruh baya itu kembali menitikkan air matanya, "Tante udah pasrah. Ini udah dua bulan, Amar..."

"Tante nggak boleh pasrah. Kita masih ada harapan, Tante... Walaupun itu hanya secuil," sahut Bara.

Ariel menghapus air matanya, "Tante tinggal kamu di sini sebentar. Nanti Tante dateng lagi." Perempuan paruh baya itu mengelus rambut Bara. Bara hanya mengangguk, kemudian melihat ke arah Ariel yang sekarang sedang berjalan pergi.

Bara menutup wajahnya, dia hanya bisa menangis. Tetesan air mata jatuh membasahi pipi. Ia tergugu, sebagai secuil saksi bahwa dirinya sedang terluka hebat sekarang. Dua bulan tanpa kehadirannya memang sangat menyiksa. Tak ada gelak tawa yang selalu Anneta berikan setiap saat.

Bara mendongak, cowok itu melihat ke arah beberapa dokter yang hendak mendekatinya. Bara seketika berdiri, dia ikut menghampiri dokter tersebut. "Ada apa, dok?"

Salah satu dokter menghela napas sejenak lalu menggeleng, "Sepertinya sudah tidak ada harapan. Kami minta izin untuk melepas segala alat yang dipasang ke tubuhnya."

Bara menggeleng, setetes air mata jatuh, "Nggak! Nggak ada yang boleh melepas itu semua."

Dokter itu menghela napasnya, ia sangat mengerti rasa duka yang menyelimuti Bara saat ini. "Saya mengerti, tapi..."

"Saya tidak mengizinkan!" tegas Bara. Derai air mata jatuh begitu saja. "Saya ingin masuk menemuinya."

☁☁☁

Bara menarik sebuah kursi ke tepi ranjang kemudian duduk di sana. Ia terus-menerus memandang Anneta yang masih tertidur lelap.

Bara menggenggam tangannya, cowok itu menangis keras. "Kapan lo bangun? Sejak kapan lo jadi kebo gini, hah?!"

Tetap tak ada jawaban. Tangan Anneta terasa sangat dingin tapi juga lembut. Wajah gadis itu putih memucat, berbagai selang infus dan juga peralatan lain masih terpasang dengan baik. Tapi mau bagaimanapun, Anneta tetaplah cantik.

Bara dengan sangat pedih berusaha menarik senyumnya, "Lo tau betapa tersiksanya gue nggak ada lo? Ini udah dua bulan, Ann. Lo harus bangun. Dokter-dokter itu mau nyabut semua alat yang dipasangin ke tubuh lo, jadi lo harus bangun. Bangun, Ann... Gue pengen lo bangun," lirih Bara.

Lintang Waktu ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang