4 // Gusar

235 72 36
                                    

Hidup itu ibaratkan awan yang berarak dengan penuh pertanyaan dan teka-teki. Tapi tenanglah, akan ada saatnya semua gumpalan awan itu bergerak seiring berjalannya waktu. Hingga sampai di suatu titik di mana awan itu hanya akan menyisakan langit biru cerah sebagai jawaban dari semua teka-tekinya.

•••

Bara. Sosok manusia yang benar-benar telah dipinggirkan dunia. Tak ada yang menghiraukannya, bagai lenyap dan hilang dari peradaban.

Bara ingin tertawa. Tertawa menertawai nasibnya yang buruk ini. Bayangkan saja, hanya mencoba untuk tersenyum di dalam kerumunan, sudah dianggap gila oleh orang lain. Jujur, ia lelah menghadapi ini semua.

Bara adalah si pemilik suara yang tak dihiraukan. Dia adalah manusia terlupakan. Dia ada namun tidak pernah dianggap ada. Hingga ia memilih untuk bungkam dan tak tersentuh, dan sekarang ketika ia telah berubah, seluruh dunia malah mempertanyakannya. Apakah itu adil?

Cowok itu berjalan menuju kantin. Tebak saja apa yang terjadi setelahnya. Banyak kerumunan murid yang langsung menghindar dan menjauh dari cowok itu. Tak sedikit juga suara yang berbisik untuk membicarakannya. Semua orang sengaja memperlihatkan gerakan jelas di bibir mereka. Berharap agar Bara dapat membacanya.

Bara menghela napas. Cowok itu bisa saja menentang, melawan, ataupun berbicara lantang. Tapi tetap saja pemuda itu memilih untuk diam.

Diam. Satu kata yang sudah menjadi temannya selama ini. Ia memilih untuk diam sejuta bahasa. Diam di kala dunia sendiri memojokkannya. Diam walaupun semesta ini terlalu bising untuk membicarakannya. Karena selantang apa pun ia mencoba untuk berbicara, suara itu tak akan pernah terdengar oleh telinga mana pun.

Bara menghela napas, sudah ia duga orang-orang akan menjauh dari dirinya. Dapat Anneta lihat dari kejauhan. Pasti sakit sekali rasanya ketika dijauhi begitu saja. Anneta berpikir bahwa mungkin saja hati Bara sudah berubah menjadi baja yang keras hingga ia tidak bisa merasakan hal sakit seperti ini.

Tapi nyatanya tidak seperti itu. Hati Bara telah hancur dan remuk berkali-kali. Jika saja seseorang bisa menilai orang lain bukan hanya dari tampak luar, mungkin mereka bisa mengerti isi hati Bara saat ini. Cowok itu tetap memasang muka cueknya, seakan ia tidak peduli apa pun yang sedang dibicarakan oleh murid lain. Untuk apa meladeni orang-orang seperti mereka? Itu tidak penting dan hanya membuang-buang waktu.

"Heh! Apaan lo pada liat sahabat gue kayak gitu, hah?! Huss!!" Dimas datang membela ketika kerumunan murid kini menjauhi Bara sembari membicarakannya. Tak jarang juga tangan cowok itu berusaha mengusir kerumunan orang yang tidak menyukai sahabatnya.

"Mending gue pergi dari sini, males kalo ada anak aneh di kantin," ucap seorang siswi.

"Iya, jadi hilang nafsu makan gue."

"Jadi males makan."

"Gue pergi aja deh."

"Rugi ganteng kalau anaknya aneh trus jutek lagi."

"Ngapain sih Bara sekolah disini?"

"Iya ih! Dimas malah mau aja mainan sama anak nggak normal kayak Bara," cibir salah satu murid.

"Kenapa emang? Masalah buat lo?" tanya Dimas. Bara tetap terdiam dengan wajah datarnya. Ia memang sudah terlalu sering mendapat cibiran seperti ini. Ia mengeraskan hatinya, ia sudah terlatih untuk bersikap cuek dan tak peduli seperti ini.

"Udah deh, kita pergi aja," ucap salah satu siswi.

"Iya, males banget ketemu orang aneh di sini."

Lintang Waktu ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang