Jika amarah tak kunjung dapat diredakan oleh hasrat dalam pikiran, maka tenangkanlah menggunakan hati. Karena ketenangan dan segala hal indah dalam dunia ini tak hanya dapat dibayangkan oleh pikiran, ataupun dilihat oleh mata. Tapi itu semua, hanya dapat dirasakan oleh kedamaian hati dan ketegaran jiwa.
•••
Suasana kelas menjadi hening ketika semua murid sibuk berkutik dengan buku tulis mereka masing-masing.
Matematika.
Satu hal yang sebenarnya sangat tidak disukai oleh beberapa murid karena otak mereka terasa seperti diperas secara perlahan. Apalagi ketika disuruh menjawab rentetan soal matematika yang jawabannya bisa beranak. Rasanya ingin sekali otak mereka meledak lantaran tak kuat.
Anneta menyenggol lengan Bara, membuat cowok itu langsung menoleh ke arahnya. "Gue udah selesai ngerjain semua soal tentang limitnya nih, mau dibantuin nggak?" tanya Anneta pelan, berharap agar Bara dapat membaca gerak bibirnya.
"Nggak usah, makasih," jawab Bara singkat, kemudian lanjut menggambar di salah satu lembaran kertas.
Anneta kembali menyenggol lengan cowok itu, hingga gambaran indah Bara tercoret karena ulahnya.
"Ck!" Bara berdecak.
"Kok lo malah menggambar sih? Kan sekarang jam matematika. Nggak bisa jawab ya? Sini gue bantu ngerjain," Anneta menarik buku matematika milik Bara.
Tapi dengan cepat Bara menahan bukunya yang hendak ditarik oleh gadis itu. "Gue bilang, nggak usah!"
"Loh, gue cuman mau bantu," ucap Anneta seraya memperagakan hal yang sedang ia ucapkan agar Bara lebih mengerti bahasa isyaratnya.
Bara menghembuskan napas, "Gue udah lebih dulu selesai daripada lo," jawab Bara jutek seperti biasa. Anneta terdiam seribu bahasa, raut muka cemberut kembali terpatri di wajahnya ketika melihat Bara dengan sikapnya yang super jutek itu. Anneta berpikir bahwa mungkin saja Bara kesal dengannya karena telah diganggu tadi.
Cowok datar tanpa ekspresi itu menghapus coretan dari gambarnya. Tangannya kembali menggambar lekukan wajah oval beserta rambut bergelombang indah pada kertas binder itu. Goresan demi goresan dari pensil 2B miliknya, berhasil menutupi bekas coretan yang tak bisa dihilangkan oleh penghapus karet begitu saja.
Anneta merasa sedikit ragu. Gadis itu menggigit bibir mungilnya karena merasa telah bersalah, "Oh, maaf," sahut Anneta gugup sembari melihat Bara yang masih fokus menggambar.
Bara hanya terdiam, sama sekali tak menjawab Anneta yang sedang meminta maaf kepadanya. Menyadari tak ada balasan apa pun dari pemuda itu, membuat Anneta menepuk jidatnya sendiri. "Aduh bego! Dia sekarang kan nggak lagi liat gue. Pantesan aja nggak dijawab, orang dia nggak bisa denger," gerutu Anneta sendiri.
Bara menghentikan aktivitas tangannya yang sedari tadi sibuk menggambar. Cowok itu terdiam sejenak, kemudian kembali menatap lurus ke arah Anneta yang sekarang sedang menatapnya juga.
Satu detik, dua detik ... tujuh detik, Bara langsung merasakan ada hal aneh dalam dirinya ketika melihat gadis itu dalam waktu yang lumayan lama. Ada sentakan rasa nyeri tiba-tiba menjalar di seluruh tubuhnya. Bagaikan tersengat listrik yang bertegangan tinggi, membuat tubuh Bara terasa seperti disetrum seketika.
Kepalanya terasa seperti dibenturkan pada benda keras berkali-kali, memberikan rasa sakit yang begitu dalam. Bara memegang kepalanya dengan kedua tangan, berusaha untuk meminimalisir kesakitan hebat yang ia sedang rasakan sekarang. Sekelebat bayangan datang dan melintas di kepalanya, memberikan rasa sakit yang luar biasa. Sungguh, ia tidak mengerti akan apa yang ia alami saat ini. Tangannya mencengkeram erat kepala itu, dan dunianya terasa berputar ketika ia menatap Anneta lebih lama. Ada apa ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Lintang Waktu ✔
Romance[COMPLETED] Semenjak perceraian kedua orangtuanya, hidup Anneta berubah. Apalagi ia harus meninggalkan sahabat masa kecilnya. Dia Amar, cowok yang selalu ada menemani Anneta untuk tetap bertahan kuat menghadapi segala kekacauan akibat pertengkaran k...