22 // Pasrah

189 56 25
                                    

Kadang hidup tak semulus yang kita bayangkan. Berbagai duka seperti mengerak dalam hati. Tapi bukankah hal itu yang dapat mendewasakan?

•••

Anneta masuk ke dalam rumah. Gadis itu melempar tasnya di sofa kemudian duduk sambil menutup wajahnya. Ariel datang dengan baju serba hitam, kemudian duduk di sebelah Anneta.

"Sana siap-siap. Kita pergi ke pemakaman Papi," ucap Ariel.

"Harus banget ya kita pergi?" tanya Anneta. "Kita kan bukan siapa-siapanya Papi lagi!"

Ariel menghela napasnya, "Jangan ngomong gitu, ntar Papi nggak bisa tenang di sana."

"Biarin aja. Emang masalah buat Ann?" ucap gadis itu acuh tak acuh.

"Kamu nggak boleh gitu, Ann."

Anneta melipat tangannya, "Kenapa sih, Mami selalu belain Papi? Apa Mami lupa gimana dulu Papi udah kejam sama Mami?!" tanya Anneta.

Perempuan paruh baya itu menguatkan hatinya, dia melihat ke arah Anneta yang sekarang sudah menitikkan air mata.

"Ngapain juga mikirin Papi? Ann udah benci sama dia." Anneta membuang mukanya. Seketika rasa sakit di dadanya muncul kembali. Air mata jatuh begitu saja. Apa yang dia katakan barusan?

"Ann, Mami emang kecewa sama Papi, tapi bukan berarti Mami benci sama dia," balas Ariel.

Anneta langsung menoleh ke perempuan paruh baya itu, "Jadi maksudnya? Mami masih sayang sama Papi? Setelah segala hal yang Papi udah lakuin, Mami masih sayang?!"

"Mami nggak ada rasa apa pun lagi sama Papi, Ann."

"Kalau gitu, kenapa Mami bela Papi?! Papi itu udah banyak salah sama kita! Papi udah cari cewek lain dan ninggalin Mami. Apa Mami lupa?!" tegas Anneta.

"Mami nggak lupa, Ann! Mami tau Papi udah jahat sama kita. Mami emang kecewa, tapi Mami nggak benci, dan Mami nggak mau kamu jadi anak durhaka karena benci orangtua kamu sendiri!" tegas Ariel.

Anneta meneteskan air matanya, "Ann tau kok kalau Papi meninggal karena penyakit anemia yang udah telat ditanganin. Gara-gara Papi, Ann juga jadi punya penyakit anemia! Kalau Papi sakit, kenapa Ann juga harus ikut nanggung konsekuensinya, Mi? Kenapa?!" tegas Anneta.

Ariel langsung mendekap putrinya, Anneta menangis. "Apa Ann sebentar lagi harus nyusul Papi? Papi itu meninggal karena anemia dan Mami tau, Ann juga punya penyakit yang sama!"

"Kamu nggak bakal kenapa-napa sayang. Kamu nggak bakal nyusul Papi." Ariel meneteskan air matanya. Perempuan paruh baya itu mengelus-elus rambut Anneta lembut.

"Kenapa penyakitnya harus nurun ke Ann juga? Kenapa Papi sakitnya isi ngajak-ngajak? Kenapa Ann harus ikut nanggung konsekuensinya?" Anneta menangis. Derai air mata jatuh berlinang. Dia tidak tahu, apakah dirinya akan bernasib sama seperti Ayahnya, atau tidak?

"Udah sayang, jangan nangis. Kamu nggak bakal kenapa-napa. Kita kan rutin periksa ke dokter, jadi kamu jangan takut," ucap Ariel menenangkan.

Anneta mengisakkan tangis, "Gimana kalau ujung-ujungnya, Ann harus pergi juga kayak Papi?"

Ariel meneteskan air matanya, ia tidak sanggup jika melihat Anneta harus seperti ini. "Kamu nggak bakal kenapa-napa sayang, jangan takut."

"Ann sayang sama Mami. Makasi ya Mi buat segalanya. Ann cuma mau bilang, kalau suatu saat nanti Ann kenapa-napa atau mungkin pergi, Mami harus tetep hidup bahagia. Cari Papi baru, bikin anak lagi, biar lupa sama Ann." Gadis itu tertawa kecil dan pasrah.

Lintang Waktu ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang