Hari semakin larut, hatiku pun juga semakin cemas sekarang. Udara di luar pasti sangat dingin karena hujan baru saja reda. Kemana Mas Devin? Kenapa dia belum pulang juga? Ponselnya juga tidak bisa dihubungi. Dari sejak kepergiannya, hatiku benar-benar cemas. Apalagi dia langsung marah ketika pulang tadi. Itu berarti perutnya belum terisi. Ya Allah lindungilah suamiku.
"Nyonya, udah malem kok belum tidur?" ucap Mba Ningsih menghampiriku.
"emm iya Mba sebentar. Saya mau nunggu Mas Devin dulu. Kalo kerjaan Mba udah selesai, istirahat aja Mba." jawabku. Lalu Mba Ningsih benar-benar mengikuti ucapanku.
Malam semakin larut tapi Mas Devin belum pulang juga. Aku mencoba menghubunginya, tapi ponselnya masih belum aktif. Apakah semarah itu Mas Devin padaku? Kenapa dia sama sekali tidak mau mendengar penjelasanku. Jika aku bisa memilih aku lebih memilih dimarahi atau bahkan sampai dicaci oleh Mas Devin seperti dulu daripada dia harus pergi dari rumah dengan keadaan marah begini. Aku rela asal dia tidak pergi tanpa kabar seperti ini. Aku benar-benar mengkhawatirkannya sekarang.
Tak ada jalan lain, aku mencoba menghubungi Mas Derrel. Beberapa kali aku menelponnya, Mas Derrel juga tidak mengangkat telpon dariku. Akhirnya aku menghubungi Delia. Dan alhamdulillah dia mengangkat telponku.
"hallo, assalamualaikum Kak.. " ucap Delia terdengar sumringah setelah mengangkat telponku.
"Wa'alaikumsalam dek. Maaf ya dek ganggu malem-malem. Mas Derrel ada nggak Dek?" tanyaku.
"nggak pa-pa kok Kak. Kak Derrel ya? Ada kok. Sebentar ya Kak." ucap Delia.
Aku pun berbicara dengan Mas Derrel. Aku mencoba menanyakan apakah Mas Devin sempat bertemu dengannya atau tidak sejak sore tadi. Tapi nihil, Mas Derrel sama sekali tidak bertemu dengan Mas Devin.
"oh gitu ya Mas?" ucapku setelah Mas Derrel mengatakan kalau dia tidak bertemu dengan Mas Devin.
"emm Mas tau nggak kira-kira Mas Devin suka pergi kemana Mas? Biar saya samperin. " lanjutku.
"aku nggak tau Kak. Yaudah gini aja, kamu mending di rumah aja Kak. Biar aku aja yang cari. Udah malem, takutnya nanti ada apa-apa. Kakak kan cewe. " ucap Mas Derrel.
Sejak aku dan Mas Devin menikah, baik Delia atau Mas Derrel memang memanggilku dengan sebutan kakak. Bahkan istri Mas Derrel juga memanggilku dengan sebutan begitu juga. Sebenarnya aku canggung dipanggil begitu oleh mereka. Tapi Mama bilang, itu akan terdengar sopan. Tapi aku sendiri masih belum bisa memanggil Mas Derrel dengan tanpa embel-embel.
"makasih banyak ya Mas. Maaf karna ganggu malem-malem." ucapku.
"iya kak, santai aja. Kakak hubungin Radit juga. Siapa tau dia lagi sama Dev." ucap Mas Derrel.
Ya, dan aku baru ingat kalau Mas Devin juga dekat dengan Pak Radit. Kenapa aku bisa sampai lupa. Setelah aku menutup telponku dengan Mas Derrel, cepat-cepat aku menghubungi Pak Radit. Tapi ponselnya tidak aktif juga. Ya Allah kenapa Pak Radit juga tidak bisa dihubungi?
Mas Devin memang sudah memasukkan nomor orang-orang yang bisa kuhubungi jika ada sesuatu yang mendesak. Bukan hanya keluarga kami, tapi juga nomor Pak Radit juga sudah dimasukkan. Tapi aku merasa itu jadi tidak ada gunanya lagi sekarang. Semua orang mendadak sulit dihubungi. Aku kembali terduduk sambil menunggu kabar Mas Devin.
¤¤¤¤¤
Author pov
Sekarang Dev sedang duduk di sebuah kafe. Saat ini hatinya sedang merasa sangat kecewa. Ya, tadi sore saat Dev masih bergelut dengan pekerjaannya, tiba-tiba ada nomor baru masuk ke ponselnya mengirim beberapa gambar padanya. Dev tidak lagi memikirkan siapa yang mengiriminya foto itu ketika melihat siapa yang ada dalam foto itu. Matanya terbelalak ketika melihat siapa itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hafiza (END-COMPLETED) ✔
General FictionSeorang anak asisten rumah tangga menikah dengan anak majikannya? Apakah itu mungkin? Hmm.. Inilah cerita dari sepasang suami istri yang menikah karena perjodohan. Perjodohan yang tidak lazim yaitu antara seorang anak asisten rumah tangga dengan...