"kamu beneran tega sama aku nih?" tanya Mas Devin entah sudah yang keberapa kali.
"Mas, kalo kamu kayak gini terus bakal lebih sulit buat aku mutusin pulang sama kamu." jawabku pada akhirnya.
Sungguh, dari kemarin hingga detik ini aku merasa sangat berdosa karena kata demi kata yang aku keluarkan untuk suamiku terdengar begitu menyakitkan. Aku benar-benar tidak ingin mengatakannya tapi Mas Devin lah yang secara tidak langsung memaksaku untuk mengatakannya. Dia itu sangatlah keras kepala. Kemauannya tidak bisa dilawan oleh siapapun.
"iya-iya aku pulang. Tapi besok aku boleh ke sini lagi kan?" tanya Mas Devin seketika membuatku menatapnya.
"ya aku kan gak bisa disuruh jauh-jauh sama kamu sayang. Sekarang baru ketemu sebentar udah disuruh pulang. Masa gak boleh ke sini lagi sih." ucapnya lagi setelah melihat tatapanku.
Aku tidak mengiraukannya dan kembali masuk ke dalam vila. Semalaman aku sudah memikirkan keputusan apa yang harus ku ambil. Dan aku tidak ingin keputusanku itu jadi berubah lagi karena keras kepala Mas Devin.
"yaudah deh aku pulang nih. Tapi kamu janji ya jangan pergi-pergi lagi. Pokoknya kamu harus tetep di sini pas aku balik." ucapnya lagi dari luar.
"sayang? Kamu denger aku gak sih?" lanjutnya lagi karena aku tidak menjawab pertanyaannya.
Mas Devin masih saja tidak berubah. Di saat seperti ini saja dia masih bersikap demikian. Dia sama sekali tidak merasa canggung saat berbicara padaku padahal keadaannya sekarang aku masih enggan untuk berbicara dengannya. Bahkan semalaman Mas Devin juga tak henti-hentinya meminta maaf padaku. Dan sampai pagi ini pun dia masih terus melanjutkan ucapan maafnya itu.
Bukan hanya Mas Devin tapi aku juga tersiksa karena masalah ini. Pikiranku yang terus saja menolak untuk memaafkannya tapi hatiku yang selalu ingin menyentuhnya. Sungguh, aku ingin kembali padanya. Kembali pada suamiku dan kembali melayaninya. Dan yang paling penting, aku sangat ingin memberitahunya tentang kehamilanku ini. Aku sangat ingin melihat wajah bahagia itu terukir di wajah tampannya. Tapi aku bisa apa? Pikiran dan hatiku selalu saja bertolak belakang.
Pada akhirnya aku mendengar mobil Mas Devin pergi dari sini. Dan apa yang aku rasakan? Apakah aku senang? Apakah aku puas karena Mas Devin benar-benar menuruti ucapanku untuk pergi? Tidak. Nyatanya tidak seperti itu. Aku merasa kecewa karena Mas Devin pergi. Aku merasa kehilangan saat mendengar mobilnya benar-benar pergi. Aku merasa sepi saat tidak lagi mendengar suaranya.
Astaughfirrullah..
Hanya istighfar yang bisa selalu ku ucap. Aku rasa ini semua sudah cukup. Hari ini aku akan mengakhiri ini semua. Aku tidak akan membiarkan masalah ini semakin berlarut-larut seperti ini. Aku sadar bahwa Mas Devin butuh kepastian. Dan tentunya aku juga. Aku tidak ingin statusku tergantung seperti ini. Aku ingin mendapat status yang jelas. Seorang istri atau seorang janda.
¤¤¤¤¤
Author Pov
Dev mulai mengemudikan mobilnya menjauh dari vila keluarganya yang di tempati oleh Hafiza sekarang. Sebenarnya dia tidak mau pulang sebelum Hafiza setuju untuk ikut pulang bersamanya. Tapi Dev pikir, istrinya itu masih butuh waktu sedikit lagi.
Dan jujur, dia kagum dengan Mamanya yang sangat baik dalam menyembunyikan Hafiza. Vila itu sudah lama tidak didatangi oleh keluarga Prakasa karena kesibukan mereka masing-masing. Apalagi Dev. Dia sudah tidak pernah lagi ke sana sejak peristiwa pengusirannya dari rumah. Jelas saja Dev tidak akan kepikiran kalau Mamanya menyembunyikan Hafiza di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hafiza (END-COMPLETED) ✔
Ficción GeneralSeorang anak asisten rumah tangga menikah dengan anak majikannya? Apakah itu mungkin? Hmm.. Inilah cerita dari sepasang suami istri yang menikah karena perjodohan. Perjodohan yang tidak lazim yaitu antara seorang anak asisten rumah tangga dengan...