Hafiza pov
Sebulan sudah aku mengurangi aktivitasku. Aku dan Mas Devin benar-benar menjalankan program hamil yang disarankan oleh dokter Arman. Tapi untuk konsultasinya tentu bukan dengan dokter Arman karena beliau bukan ahlinya bidang tersebut. Akhirnya Mama mengusulkan seorang dokter yang dulunya menjadi dokter kandungan Mama. Awalnya Mas Devin menolak, dia bilang jika bisa dia tidak mau memakai dokter selain dokter Arman. Namun setelah aku beri pengertian Mas Devin akhirnya menyetujui dokter yang disarankan Mama tersebut. Beruntung dokter itu perempuan.
"kamu nggak capek?" tanya Mas Devin saat aku selesai minum vitamin.
"capek apa Mas? Aku nggak ngapa-ngapain kok capek." tanyaku merasa aneh dengan pertanyaan Mas Devin itu.
"minum obat tiap hari. Kalo capek nggak usah diterusin sayang. Kamu bilang anak itu rejeki dari Allah. Nanti kalo udah waktunya juga Allah pasti bakal titipin momongan sama kita. Aku nggak mau kamu paksain diri kamu minum obat tiap hari kayak gini sayang." jelas Mas Devin.
Ternyata itu maksud Mas Devin. Aku memang sudah sebulan ini rutin meminum vitamin yang dianjurkan oleh dokter. Belum lagi aku juga harus minum susu setiap pagi. Makanku pun juga harus diatur. Dan entah kenapa tiba-tiba Mas Devin berkata seperti itu. Padahal aku sama sekali tidak keberatan dalam melakukan program ini.
"Mas, emang bener ini semua kehendak Allah. Tapi kita sebagai manusia kan harus ikhtiar juga Mas. Dan ini salah satu bentuk ikhtiar kita."
Ya, menurutku menjalankan program hamil ini adalah salah satu bentuk ikhtiar kami. Semuanya itu butuh doa dan usaha. Aku dan Mas Devin tak putus dalam berdoa, tapi walaupun begitu kami juga harus tetap ikhtiar bukan?
"tapi aku nggak tega liat kamu tiap hari harus minum obat gitu sayang." ucap Mas Devin.
"aku sama sekali nggak keberatan Mas." jawabku sambil memeluk lengannya.
Hari ini aku dan Mas Devin akan pergi ke supermarket untuk membeli kebutuhan rumah ini selama sebulan. Walaupun sudah ada Mba Ningsih, aku tetap berbelanja sendiri. Bukannya aku tidak percaya padanya, tapi aku lebih senang untuk berbelanja sendiri. Dan berhubung waktu berbelanja bulan ini jatuh di hari minggu, Mas Devin yang mengantarku.
"kenapa nggak sekalian lima sih Za? Nanggung banget empat doang." ucap Mas Devin saat aku memasukkan empat kotak telur. Ya, sekarang kami sudah sampai di supermarket.
Mas Devin memang tidak pernah mengantarku berbelanja. Selama kami menikah memang baru kali ini dia mengantarku. Dan sejak tadi Mas Devin selalu saja berkomentar setiap aku memasukkan sesuatu. Dia selalu bilang 'kenapa nggak sekalian' akupun hanya bisa geleng-geleng kepala mendengarnya.
"Mas, kamu tuh dari tadi bilang kenapa nggak sekalian terus ya. Ya emang kita butuhnya cuman segini Mas." ucapku.
"ya kan nanggung sayang. Emang nambah berapa sih nambah satu kotak sekalian." jawabnya sambil kembali memasukkan satu kotak telur itu.
"bukan masalah nambah berapanya Mas. Tapi kita itu harus beli seberapa kita butuh bukan berapa uang yang kita punya." jawabku mengembalikan kotak telur itu.
"aku tau uang yang kamu kasih ke aku nggak akan habis gitu aja cuman karna aku buat ini itu 'sekalian'. Tapi kita harus inget juga Mas, di luar sana masih banyak yang dimana buat makan aja susah. Jadi kalo kita punya rejeki lebih mendingan kita kasih ke orang-orang itu daripada buat beli sesuatu dengan embel-embel 'sekalian'." ucapku memberinya pengertian.
Aku pun kembali berjalan memilih-milih kira-kira apa lagi yang belum aku beli. Mas Devin pun juga mengikutiku. Dia tidak membantah atau menjawab ucapanku tadi. Mungkin dia sudah mengerti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hafiza (END-COMPLETED) ✔
Fiction généraleSeorang anak asisten rumah tangga menikah dengan anak majikannya? Apakah itu mungkin? Hmm.. Inilah cerita dari sepasang suami istri yang menikah karena perjodohan. Perjodohan yang tidak lazim yaitu antara seorang anak asisten rumah tangga dengan...