٢٤

117K 7.2K 100
                                    

Hari ini aku sedang belajar membuat kue brownies. Belakangan ini aku memang disibukkan dengan belajar resep-resep makanan manis seperti ini. Baru kemarin Mas Devin meminta untuk dibuatkan kue nastar, dan hari ini dia minta dibuatkan kue brownies. Huft, aku benar-benar tidak menguasai dalam mengolah makanan manis seperti ini. Tapi aku akan terus belajar. Toh, semua sudah tersedia di sini. Mas Devin memang membeli peralatan untuk membuat kue sangat komplit. Ya, dia memang penggemar kue-kue manis. Khususnya yang sedang kubuat sekarang. Bahkan Mas Devin sampai membelikanku buku resep.

"Fizaaaa..... "

"Fizaaaa.... "

Aku seperti mendengar suara Mas Devin. Tapi ini belum waktunya Mas Devin pulang. Bahkan belum masuk waktu makan siang.

"sayang.. " panggil Mas Devin kini sudah berada di dapur. Ternyata dia benar-benar sudah pulang.

Aku pun menengok atas panggilannya. Dan tiba-tiba dia memelukku dengan sangat erat. Astaughfirrullah, ada apa lagi dengan suamiku ini. Aku sampai sesak napas karena pelukannya itu.

"Mas, kamu kenapa sih? Ini tangan aku kotor loh." ucapku.

Mas Devin lalu melepaskanku. Tapi bukannya menjelaskan apa yang terjadi, dia malah menghujani wajahku dengan ciuman bertubi-tubi.

"Mas.. Mas.. Mas.. Astaughfirrullah.. Kamu kenapa sih Mas?" tanyaku menghentikan aksinya itu.

"kamu tau sayang? Kita beneran menangin proyek itu. Kita untung besar sayang. Untung besar. Dan kamu tau ini semua karna siapa?" tanya Mas Devin yang tentu kujawab dengan gelengan. Mana aku tahu siapa yang terlibat dalam proyek yang disebutkan Mas Devin tadi.

"ck, kok geleng sih. Ya kamu lah. Ini semua itu berkat kamu sayang. Berkat kamu." jawab Mas Devin.

Aku? Kenapa bisa aku yang mempengaruhi proyek besar itu? Aku bahkan sama sekali tidak mengerti apa yang dimaksud Mas Devin ini. Lalu bagaimana proyek besar itu bisa berhasil karena aku?

"maksudnya Mas?" tanyaku.

"gini aja deh. Pokoknya sekarang, kamu boleh minta apa aja. Apaaaa ajaaaaa. Kamu tinggal sebut aja. Mau rumah? Apartemen? Mobil? Atau kamu mau liburan kemana gituh? Pokoknya apapun yang kamu mau, aku bakal turutin." jawab Mas Devin yang malah membuatku semakin bingung.

Bagaimana bisa dia menawarkan rumah hingga apartemen dengan semudah itu? Apa Mas Devin tidak sadar kalau membeli sebuah rumah itu pakai uang? Dia menawarkan hal mewah itu seakan rumah atau apartemen bisa dibeli dengan daun.

"oh iya, tadi pagi kamu belum jawab pertanyaan aku loh. Kamu belajar darimana bisa buat presentasi sebagus itu?" tanya Mas Devin lagi.

Oh aku baru mengerti sekarang. Apakah yang dimaksud proyek besar oleh Mas Devin itu adalah presentasi yang kukerjakan semalam? Dan kenapa Mas Devin masih saja penasaran soal itu? Apakah aku perlu menjawab pertanyaan Mas Devin itu.

"sst? Kebiasaan banget deh kamu tuh. Ditanya malah bengong. Darimana belajarnya sayaaang? Kok bisa sebagus itu?" tanya Mas Devin lagi.

"ya dari kampus lah." bukan, bukan aku yang menjawab tapi ibu mertuaku membuat kami seketika menengok.

Ya, tiba-tiba Mama datang ke sini dan menjawab pertanyaan Mas Devin yang ragu aku jawab sejak tadi.

"kampus? Maksudnya?" tanya Mas Devin kembali beralih padaku.

Selama ini Mas Devin memang tidak mengetahui kalau aku pernah kuliah. Pertemuan kami saat itu sangat pas sekali setelah kuliahku selesai. Dan sampai saat ini aku juga tidak pernah bercerita kepada Mas Devin kalau aku pernah mengenyam pendidikan di bangku kuliah. Ya, karna dia juga tidak menanyakannya. Jadi kupikir itu bukanlah hal penting untuk diceritakan padanya.

Hafiza (END-COMPLETED) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang