٢١

134K 7.8K 186
                                    

Pagi ini aku menyiapkan sarapan kesukaan Mas Devin. Nasi goreng. Yah, dia sangat suka sarapan nasi goreng. Bahkan hampir setiap hari aku memasak nasi goreng untuk Mas Devin atas permintaannya sendiri. Aku juga heran kenapa dia tidak bosan-bosan dengan menu sarapannya yang satu itu.

"pagi sayang.. " ucap Mas Devin saat menuruni tangga.

"Mas,.. " panggilku setelah dia duduk.

"hm?" jawab Mas Devin masih fokus pada ponselnya.

"Mas kalo turun dari tangga tuh jangan dibiasain sambil liat handphone." ucapku membuatnya tersenyum karena malu dan langsung meletakkan ponselnya.

Sejak kami menikah, aku ingin sekali mengingatkan Mas Devin untuk tidak melihat ponselnya saat berjalan apalagi saat berjalan menuruni tangga. Tapi saat itu aku takut jika dia marah, karena saat itu dia masih tidak menyukaiku. Dan sekarang aku sudah berani mengingatkannya, namun tetap saja kebiasaannya itu tidak mudah hilang. Hampir setiap hari aku mengingatkannya, dan sampai detik ini kebiasaannya itu belum hilang juga.

"Mas, nanti Mas Devin pulang jam berapa?" tanyaku.

"kenapa? Tumben kamu tanya-tanya." jawab Mas Devin malah ikut bertanya.

Aku memang jarang atau sepertinya aku memang tidak pernah menanyai Mas Devin akan pulang jam berapa karena aku sudah tahu jam pulangnya.

"boleh nggak Mas, nanti aku yang anter makan siangnya?" tanyaku lagi.

Ya, yang kumaksud adalah pulang untuk makan siang. Sebelum ini Mas Devin memang sudah sering pulang ke rumah untuk hanya sekadar makan siang. Bahkan jika dia sibuk dan tidak sempat pulang, dia akan mengirim seseorang untuk mengambil makan siangnya. Tapi entah kenapa, rasanya hari ini aku ingin mengantarnya sendiri ke kantor Mas Devin.

"hm?" jawabnya dengan tatapan bertanya-tanya.

"kalo nggak boleh juga gak pa-pa kok Mas." ucapku.

Aku memang tidak seingin itu untuk mengantar makan siang Mas Devin. Hanya sebatas ingin dan keinginan itu bukanlah keinginan yang harus terpenuhi. Sangat tidak efektif bahasa yang kugunakan. Ya, begitulah, intinya jika Mas Devin tidak mengijinkanpun aku tak apa.

"ehm bukan gitu sayang. Tapi kamu mau ke kantor pake apa coba?" tanya Mas Devin.

Hm, sepertinya Mas Devin mengijinkan. Dengan sumringah aku menjawab pertanyaannya.

"aku bisa naik angkutan umum kok Mas." jawabku dengan penuh semangat.

"hah?! Angkutan umum? Enggak-nggak, nggak boleh. Bahaya. Kalo kamu dijahatin orang gimana? Nggak-nggak nggak boleh." ucapnya yang membuatku kecewa.

"ya kalo gitu kan bukan berarti gak boleh sayang." ucapnya lagi.

"maksud Mas?" tanyaku.

"biar aku aja yang jemput ya?" ucapnya.

"emang Mas Devin nggak sibuk Mas? Aku bisa sendiri kok. Atau kalo enggak aku__"

"udah-udah pokoknya kamu nurut aja. " katanya memotong ucapanku.

Akhirnya aku menurut saja. Yasudahlah, walaupun itu artinya sama saja bukan aku yang mengantarnya tapi Mas Devin sama saja pulang. Harus bagaimana lagi jika ijin Mas Devin hanya bisa diberikan dengan cara itu.

¤¤¤¤¤

Author Pov

Hafiza sudah siap daritadi, tapi Dev tak kunjung datang untuk menjemputnya. Padahal jika Dev sendiri yang pulang, sudah sejak tadi dia datang. Atau jika seseorang yang Dev minta untuk mengambil makan siangnya, juga dia pasti sudah sampai sekarang.

Hafiza (END-COMPLETED) ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang