🐾5. Membunuh Rasa yang Baru Tumbuh

77 7 0
                                    

~~{ }~~

" Udahan dong nangisnya, Put" bujuk Nana mengusap pelan punggung Putri. Tangan lainnya bergilir mengusap air matanya.

"Kalo yang lupa cuma salah satu dari mereka gue maklumin, Na. Lah ini semuanya pada lupa. Padahal setiap tahun gak pernah terjadi hal kayak gini" Putri menangis sejadi jadinya.

Mengeluarkan rasa sakit yang ia rasa. Wajah gadis itu kini ia tutupi dengan dua siku terlipat di atas meja. Ia membenamkan wajah disana. Diantara lekuk siku tangannya.

"Ini memang salah gue. Gue terlalu berharap. Gue gak nyadar kalau gue bukan lagi anak kecil yang selalu di rayain ulang tahunnya sama bonyok. Gue seharusnya gak boleh lagi jadi anak manja kayak ini. Harusnya gue gak selalu minta di perhatian lebih ke bonyok" rutuk Putri pada diri.

" ini semua bukan salah lo. Berhenti maki diri kayak gitu" Nana mengamit pelan kepala Putri agar terlihat wajahnya dan Putri tidak menolak itu.
Nana dapat melihat mata gadis itu bengkak dengan wajah dan hidung yang merah.

Syila berdiri tepat dihadapan Putri. Memperhatikannya yang duduk lesu di samping Nana.

"Jangan sedih. Lo gak lupa kan ucapan dari kita di hari special lo kemarin? Kita ngucapin loh. Kita ingat. Lo ngehargain itu kan?" tanya Nana lembut.

"Lo akan merasa cukup apabila lo menghargai ucapan selamat ulang tahun dari kita itu, Put" ucap Nana mengusap pelan bahu Putri berulang ulang.

Menghirup napas panjang, hidungnya yang sedikit tersumbat membuatnya sulit bernapas. "Makasih ya" Putri menatap Syila dan Nana bergantian. Sesaat setelah itu ia memeluk Nana dari samping.

Syila tak banyak berkomentar bila itu berkaitan dengan orang tua.

"Makasih karna ketulusan kalian" Nana merangkul bahu Putri hangat.
Suasana kelas sepi, hanya mereka bertiga yang mengisi. Jam istirahat sedari tadi mendengungkan indra pendengaran. Putri yang tak kuasa menahan tangis akhirnya meluapkan emosi, kekecewaan dari harapannya melalui tangis. Nana yang merupakan tetangga dan temannya sedari kecil tidak bisa mengabaikannya begitu saja. Maka, disinilah mereka bertiga sekarang.

"Lo paling bisa deh menghibur. Walaupun wejangan lo kayak emak emak sih" tawa Putri seraya tersenyum jahil pada Nana. Ia mengadah dengan posisi masih dalam pelukan Nana si gadis cerewet.
Nana menarik hidung Putri yang merah hingga menjadi lebih merah lagi.

"Sekarang gantian, lo yang hibur gue dong, Syil" pinta Putri merengek. Ia tak marah Nana mengusik hidungnya

" Maunya apa?" tanya Syila

"Terserah! Cerita, puisi, pantun. Apa aja. Terserah lo. Lo bisanya apa?" tanya Putri. Dari nada suaranya terdengar bahwa Putri sudah lumayan lega setelah tangisnya reda.

Bagi Putri Setidaknya saat ia sakit hati karna terlupakan mama papa, masih ada teman yang tak boleh ia lupakan.

Syila memanyunkan bibir seraya berpikir. Tersenyum PD sebelum berucap, "Ayam grepek rasanya sadis" ujar Syila mulai berpantun.

"Cakep!" Sorak Nana menahan senyum. Syila terlihat lucu saat berpantun karena tidak biasanya gadis kalem sepertinya melantunkan sajak sajak itu.

"Putri jelek. Jangan nangis" sambung Syila membuat pupil mata Putri melebar.

"Syila!" protes Nana lebih dulu.

Syila diam. Tidak tahu kesalahannya apa. Dulu temannya pernah memberikan pantun seperti itu, ketika menangis hal itu cukup bisa menghilangkan sedih nya waktu itu, tapi kali ini ia justru salah.

Suara Langkah kaki terdengar mendekat, Syila membalikan badan menatap pintu. Dua orang pria berjalan mendekat pada mereka.

"Adek gue kenapa?" tanya salah satunya.

ARSYILA (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang