XIX # Ailsa Radjinant

77 28 1
                                    

Ailsa termenung di kamarnya. Ia tetap menangis. Lamda sakit karenanya. Bahkan bukan sakit lagi, tetapi kritis. Di lain sisi, Vansel marah besar terhadapnya. Apa yang harus ia lakukan?

Ia mengeluarkan seluruh kesesakannya dengan menangis dan terisak. Ia berusaha meredam tangisnya dengan kedua tangan.

"Paman ... aku tidak bermaksud membuatmu begini," Ailsa menangis lebih keras dan berusaha menutupinya, "aku hanya tahu, bahwa mereka manusia yang bisa sembuh. Mungkin Yeoson bisa menemukan penyebab dan obatnya, atau bahkan mereka sudah tahu apa sebenarnya yang menimpa Cala."

Setelah cukup reda, Ailsa mengangkat kepalanya, menatap langit dari jendela kamarnya. Ia tersenyum sedikit. Awan putih itu, yang selalu ia lihat bersama ibunya sebelum pindah ke Ruksey.

"Ibu ... salahkah aku ikut Pangeran Vansel kemari?"
Ailsa menunduk kembali, meratapi lantai. "Aku sudah membuat pendamping Pangeran Vansel kritis, padahal dia satu-satunya orang yang memiliki tanggung jawab besar pada pangeran. Dan, aku juga menyusahkan perjalanan mereka, Bu."

Tuk! Tuk!

Ailsa menoleh ke arah pintu.

"Ailsa, kau dipanggil Pangeran Vansel di ruangan Lamda," beritahu seorang donge.

Ailsa segera menghapus air matanya dan sontak berdiri. "A--apakah aku boleh tahu ... ada apa?"

"Silakan tanya sendiri saja pada Pangeran Vansel. Permisi."

Ailsa menghela. Ia menghapus sebersih-bersihnya air matanya, agar tidak ketahuan menangis di dalam kamar. Setelah siap, ia melangkahkan kaki menuju kamar Lamda. Selama perjalanan, jantungnya terus berdegup.

"Hrgggh."

Spontan, tubuh Ailsa menegang. Jantungnya berdegup lebih cepat lagi. Ia perlahan menoleh, dengan mata melebar ke sebuah pintu yang baru ia lewati satu langkah. Tanpa berhenti membeku, ia menatap pintu itu. Pintu kayu keemasan dengan ukiran. Ailsa meneguk salivanya. Namun, tidak ada yang terjadi.

Ia akhirnya mengerjap dan mengutuk kepalanya sendiri. "Kepala macam apa kau ini, tempat ini sudah dibersihkan. Jangan berpikir kalau ada mereka di dalam sana. Itu pasti hanya khahalanmu saja, dasar kepala!"

Ailsa melanjutkan langkahnya menuju kamar Lamda. Ketika sampai, ia langsung membungkuk di hadapan Vansel.

Vansel dengan kedua tangan di belakang punggung mengatakan, "Kenapa kau justru pergi? Kau tidak menunggui Lamda di sini? Kau tidak berdoa untuk keselamatannya?"

"Maaf sebesar-besarnya, Pangeran. Sungguh, bukan itu yang dimaksudkan. Tentu, aku tetap berdoa untuk--"

"CUKUP!"

Ailsa tersentak.

"Lihat, Lamda sekarang. Lihat! LIHAT!"

Ailsa mengangkat kepalanya, menatap sedih pada Lamda yang terbaring dengan puluhan luka jahitan di lehernya.

"ITU YANG KAU BALAS PADAKU DAN KELUARGA KERAJAAN RUKSEY?"

Ailsa segera bersujud. "Maafkan aku, Pangeran. Maaf! Beribu maaf padamu dan Paman Lamda. Paman pasti sembuh."

"Paman pasti sembuh, kau bilang?"

"Iya, Pangeran, kita harus berpikir optimis agar Paman Lamda benar-benar sembuh."

"Hah ... aku tak percaya ayahku memiliki rakyat sepertimu."

Ailsa menangis. "Maaf, maaf, Pangeran. Iya, aku tahu, aku memang bukan dari Ruksey. Aku hanya orang rantau."

Vansel tersenyum sinis, "Jika aku Raja Keanu, mungkin sudah kutebas lehermu."

"Ampun, Pangeran. Maaf, Pangeran. Maaf padamu dan Paman Lamda. Sungguh, beribu maaf kuucapkan padamu. Lebih besar dari dunia ingin kuberikan maafku."

KANIBAL Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang