Atlantik mengambil pedangnya. Ia turun ke lantai dua. Diletakkannya besi panjang itu ke leher Moestan Prasga.
"Moestan, cepat katakan. Siapa yang menyuruhmu kemari?"
Vansel datang menyusulnya. "Pangeran?"
Lamda dan Elips ikut menuruni tangga.
"Pangeran Atlantik, apa yang kau lakukan?" seru Lamda.
"Cepat, buka sumpalannya. Aku ingin mengetahui siapa yang menyuruhnya kemari," perintahnya pada Lamda.
Lamda segera melaksanakan tugasnya, membuka sumpalan kain itu.
"Mati atau memberitahuku siapa yang menyuruhmu?" ancam Atlantik dengan tatapan geram pada Moestan Prasga.
"P--Pangeran, ampun."
"Kalau begitu, sekarang katakan!" Atlantik mengangkat kedua alisnya.
Moestan Prasga melihat ke arah Lamda.
"Ada apa kau melihat Lamda?" tanya Vansel.
Moestan Prasga menunduk. "Maaf, Pangeran."
Atlantik tidak sabar. Ia mengangkat pedangnya dan hampir saja memotong leher lelaki tua itu jika Vansel tidak menahannya. Mereka berdua saling menatap.
"Pangeran, aku mohon, sabarlah."
Gigi Atlantik menggertak. "Untuk apa kau menghalangiku, hah?"
"Pangeran, kita bersama-sama harus membangkitkan Cala."
Atlantik tersenyum miring. "Membangkitkan Cala? Kau pikir semudah melempar batu? Aku bahkan tidak mengharapkan kehidupan apa pun di sini lagi. Aku ingin keluar!"
"Tetapi, untuk keluar kita harus mengetahui semua informasi. Kau tidak bisa membunuh Moestan Prasga begitu saja karena dia membawa informasi."
Atlantik menurunkan tangannya sekaligus pedang yang ia pegang. "Berengsek."
"Aku mohon, berikan Putri Elips kepadaku. Aku akan menjamin Ailsa selamat."
"Teganya kau, sebenarnya dimana Ailsa?" serang Vansel.
"Akh!" Tiba-tiba kepala Atlantik terasa sakit.
"Atlan, kau baik-baik saja?" tanya Elips.
"Siapa perempuan bernama Ailsa itu?" tanya Atlantik.
"Ah, dia dari Cala, tetapi karena kerusuhan dia dan ibunya pindah ke Ruksey," jelas Vansel.
Elips menggigit bibir bawahnya, seolah tahu sesuatu.
"Kenapa semenjak tadi, aku merasa pusing ketike mendengar namanya. Dan kali ini, pusingnya terlalu hebat." Atlantik jatuh terduduk.
Lamda dan dua donge langsung mengangkatnya kembali.
"Pangeran, kau baik-baik saja?" tanya Lamda.
"Ailsa ...," igau Atlantik.
"Tunggu. Pangeran Atlan, apa kau mengenal Ailsa?" tanya Vansel.
Atlantik meringis dan memegangi kepalanya kuat-kuat. "Aku tidak tahu. Tapi ... aku seperti mengenal namanya. Akh, aku tidak ingat."
"Putri Elips, apa ada yang kau ketahui?" tanua Lamda yang melihat Elips seperti orang ketakutan dan khawatir.
Elips tersentak ketika ditanyai. Melihat reaksi itu, Vansel langsung berdiri di hadapan Elips.
"Aku mohon Putri, beritahu apa saja yang kau ketahui," pinta Vansel.
Hati Elips terasa berdetak hebat. Ia tidak bisa mengontrol diri. Menatap sosok tuan muda yang gagah dan memiliki emosional kuat, namun memiliki hati lembut dan peduli. Dan lelaki itu adalah anaknya. Tentu bagaimana pun, seorang ibu tidak bisa menolaknya.
"Akan kuberitahu, Pangeran Vansel."
Vansel tersenyum.
Elips kemudian berjalan ke hadapan Atlantik yang masih dibantu berdiri oleh Lamda dan seorang donge.
"Atlan, sebenarnya, ada yang memberimu obat pelupa ingatan. Aku tidak ingat kapan tepatnya, tetapi beberapa tahun lalu, entah dua atau tiga tahun. Aku tidak ingat. Di saat kamu diberikan obat itu, Ailsa pun diberikan juga. Yang memerintahkannya tidak lain adalah Baba."
Pusing Atlantik kian menjadi. Dan akhirnya ia jatuh. Lamda tetap memegangi, tapi kalo ini dengan posisi duduk.
"Maksudmu? Ailsa tinggal di sini?" sela Vansel.
Elips mengangguk. "Iya. Ibunya pun berbohong bahwa telah membawanya sejak umur lima tahun. Ya, itu benar. Tetapi, ibunya kembali ke Cala setelah kerusuhan pertama terjadi. Ailsa tidak lama berada di Ruksey, hanya beberapa bulan. Dan beberapa tahun belakangan ini dia balik lagi ke Ruksey. Makanya sekarang, ia berada di sana. Karena ia tidak mengingat apa pun selain ingatan masa kecilnya, ia pun percaya bahwa sejak usia lima tahun ia sudah menjadi rakyat Ruksey."
"La--lalu ... bagaimana dengan Pangeran Atlantik?" tanya Vansel lagi.
"Atlantik, bahkan tidak mengingat masa kecilnya. Aku sendiri yang menceritakan ulang apa yang terjadi dengan negeri ini. Apa yang terjadi di dalam keluarga kita."
"Tunggu sebentar," Vansel melirik Lamda, "Paman? Kenapa dulu kau juga berkata bahwa Ailsa tinggal di Ruksey sejak usianya lima tahun? Kau juga berbohong?"
"Ma--maaf, Pangeran. Raja Andriant memerintahkanku."
"Baba? Untuk apa?"
"Agar anak itu aman."
Vansel mengernyit. "Aman dari siapa?"
"Raja Keanu, Pangeran."
Vansel memutar kedua bola matanya. "Ah, ternyata terlalu banyak peristiwa yang aku tidak tahu."
"Baba memang keterlaluan!" seru Atlantik.
"Atlan? Kau mengingat Ailsa?" tanya Elips.
Atlantik perlahan berdiri dibantu Lamda sembari mengangguk. "Aku ingat, terakhir bertemu dengannya. Ketika kerusuhan kedua terjadi. Dan, aku menyuruhnya pergi. Setelah itu, aku kembali ke kerajaan dan tidak mengingat apa-apa."
"Berterima kasihlah pada Mamma yang bergerak sendiri membawakan obat penghilang ingatan pada Ailsa dan menjelaskan semua pada ibunya. Hari itu juga, mereka pergi ke Ruksey setelah Ailsa sadar dari pemberian obat untuk menyelamatkan gadis itu. Sedangkan di istana, kau langsung dibungkam dan diberikan obat itu." Elips merasa sedih.
Atlantik menghela. "Apa ... mungkin Ailsa mengingatku?"
"Sepertinya, ya, Pangeran," sahut Vansel.
Atlantik langsung menoleh pada Vansel. "Y--ya?"
"Sepertinya iya, karena ketika kami baru sampai di sini, dia berharap bisa bertemu denganmu."
Atlantik kembali mengambil pedangnya dan mengarahkannya pada leher Moestan Prasga. "Di mana Raja Keanu? Di mana Ailsa?"
Moestan Prasga gemetar dan meneguk salivanya.
"Atau jangan-jangan, Ailsa sedang bersama Raja Keanu?" tebak Vansel.
Atlantik membelalak. "Kalau begitu, ayo sekarang kita ke Cala Parunga!" Atlantik beranjak pergi.
Elips segera menarik tangannya. "Kau lupa? Kau lupa makhluk pemakan manusia itu mengincar kita?"
Atlantik menghela kasar. "Sialan."
"A--aku ada ... bahan untuk menghalau mereka," seru Moestan Prasga tiba-tiba.
Otomatis, semua mata tertuju padanya.
"Kau serius punya, Moestan?" tanya Lamda.
Moestan Prasga mengangguk dengan raut takut.
#####
KAMU SEDANG MEMBACA
KANIBAL
Misterio / SuspensoBagaimana jadinya jika sebuah negara berdiri tanpa adanya peraturan hukum? Bagaimana jadinya jika warga negara dibebaskan melakukan tindak pidana? Apakah justru akan membawa kententraman bagi penghuninya atau sebaliknya? . Cerita ini diikutsertakan...