15

3.4K 417 45
                                    

Sakura sedang berada di taman istana sekarang, memandang banyaknya bunga dengan udara sejuk pagi-pagi. Ia memakai gaun indah yang bewarna emas, rambutnya disanggul, banyak perhiasan indah yang ia pakai. Semakin menambah pesonanya, tetapi pesona itu malah membuat banyak orang tak menyukainya, mungkin iri hati dan merasa tak adil.

Sakura memutuskan untuk tidak mengacuhkan perintahan Sasuke, ia tengah duduk dan menunggu kehadiran seseorang yang mana sekarang telah sampai dengan menunjukkan senyuman lebar.

"Apa saya membuat Ratu menunggu?" Sabaku no Gaara bertanya dengan mimik wajah seolah menyesal. Sakura menggeleng, berdiri dan membiarkan mereka berdua berhadapan. Bila dilihat-lihat, pemuda di depannya itu cukup tampan, meski tidaklah setampan Sasuke. Namun, ada aura hangat yang berpencar dari tubuhnya.

"Saya merasa sangat tersanjung karena Ratu mau menerima permintaan saya." Dia menunduk hormat, tersunyum lebar yang hanya dibalas lengkungan tipis dari Sakura.

Maka mereka pun berjalan beriringan, melewati lorong demi lorong tanpa satu pelayan pun yang mengikuti. Dipenuhi oleh tawaan yang sesekali muncul ke permukaan.
"Saya pikir Anda bukanlah orang yang suka tertawa, tapi rupanya itu sebaliknya." Gaara tersenyum lebar, membuat Sakura mendengkus menanggapi. Langkahnya masih berlanjut, dia memandang lorong yang masih panjang, tak mengindahkan hormatan para penjaga yang mengamankan tempat itu.

"Aku bisa tertawa ... hanya saja terasa kaku untuk saat ini." ujarnya, memasang ekspresi tenang seolah biasa yang membuat Gaara memuji dalam hati. Perempuan di sampingnya hebat dalam mengontrol emosi. Bahkan dalam kepurukannya dia masih dapat membuat orang-orang yang melihatnya segan, ada sebuah aura yang juga ia dapatkan dari Raja. Aura berkuasa yang membuat orang-orang ingin segera melakukan penghormatan.

Gaara tersenyum, mereka berdua sangat serasi bila tidak memikirkan masa lalu yang bahkan telah mengikat sebelum mereka berdua dilahirkan. Apakah Tuhan memang menakdirkan mereka? Gaara tak bisa menjawab untuk yang satu itu. Dia mencoba fokus akan tujuannya mendekati perempuan ini, tetapi dia tak bisa. Sangat sulit. Semenjak matanya bertatapan dengan Sakura dia sudah merasa berbeda. Uchiha Sasuke, keparat itu beruntung mendapatkannya.

Xio.

Gaara mencoba mengingatkan dirinya akan kekasihnya di masa lalu, kekasih yang memilih menghianatinya dan menjadi selir dari Sasuke. Dulunya Gaara mengikhlaskan, tetapi setelah mendengar Xio mati atas permintaan wanita di sampingnya membuatnya segera datang ke kerajaan ini.

Seharusnya dia melaksanakan misinya sekarang, apalagi pada keadaan yang mendukung tanpa satu orang pun di sini. Gaara mengepalkan tangannya, menatap punggung Sakura. Bahkan hanya dalam sekali tatap perempuan itu berhasil membuat jatuh hati seorang lelaki, pantaslah Uchiha Sasuke tak mau melepaskannya.

"Aku mantan kekasih Selir Xio." Gaara memilih mengaku, membiarkan raut mukanya terhalang oleh kegelapan yang remang karena terlindungi oleh banyaknya pohon di atas. Sakura menghentikan langkahnya, mengerjab, dan dengan anggun mengalihkan badannya menghadap Gaara. Alisnya naik sebelah, masih tenang tanpa menunjukkan raut wajah apa pun, "Lalu?" tanyanya.

"Kau membunuhnya, bukan?"

Sakura menaikkan dagunya sedikit, "Ya." jawabnya jujur. Tak ada sinar ketakutan yang ia tunjukkan, tangannya bersedekap dan emeraldnya mengawasi Gaara yang melangkah mendekat.

Gaara mengambil sebuah pisau di balik jubahnya, meletakkan pisau itu tepat di leher Sakura. Satu kali gerakan saja dari Sakura maupun Gaara maka darah pastilah akan keluar dari sana. Namun, masih sama, tak ada gurat ketakutan si wajahnya. Malah menunjukkan sikap yang tak gentar meski pisau itu sedikit menyentuh kulitnya.

"Mati? Itu keingananmu?"

"Benar. Bunuh aku sekarang ... sudah kuduga, kau memiliki niat terselubung." Sakura menarik sudut bibirnya, mengamati mimik wajah Gaara yang sempat menunjukkan riak.

"Hukuman seperti apa yang menurutmu akan diberikan suamimu kepadaku saat tahu Ratu tercintanya mati?"

"Aku tidak tahu. Pastilah kau akan mengikuti jejakku ... tapi jalan menuju kematianmu mungkin tidak akan mudah. Dan kemudian keluarga beserta rakyatmu akan menyusul."

Gaara terkekeh, gemeretak giginya terdengar. Tampak sekali bahwa lelaki itu tengah ragu sekarang.

Dan kemudian sesuatu terasa menusuknya, membuatnya merasakan sakit dengan darah yang kemudian keluar mengalir dari titik kesakitannya. Gaara mengerjabkan matanya, terperosok jatuh di atas lantai seraya matanya menatap ke depan. Ke tempat Uchiha Sasuke berdiri tanpa ekspresi.



Tarikan di tangan Sakura semakin mengencang, membawanya memasuki Istana Bulan jauh kebih dalam. Semua pelayan yang tak sengaja melihat segera bersujud dengan tundukan, menuli dan membutakan mata atas apa yang terjadi depan mereka.

Bunyi pintu tertutup kasar memenuhi lorong istana, Sasuke segera menghempaskan tangan Sakura dan mendorongnya ke ranjang. Wajahnya mengeras, memandang Sakura yang kini menghela napasnya seolah jengah.

"Aku sudah melarangnya, 'kan? Sudah kukatakan jangan mendekatinya." desis Sasuke, matanya benar-benar tajam. Tampak sekali tengah menahan kemarahannya. Bila orang yang membuatnya marah bukanlah Sakura, sudah dipastikan orang itu akan habis di tangannya.

Sakura tak menggubris, dia malah menarik selimut di ujung kakinya. Membiarkan selimut itu menutupi sebagian dirinya. Dia tidak mau membalas, sudah terlampau lelah berdebat.

"Jika aku terlambat maka kau sudah mati sekarang."

"Itu memang yang kuinginkan." Sakura menimpali, tak peduli akan gertakan gigi Sasuke.

"Kau tidak boleh mati, Sakura. Bila kau ingin mati maka itu harus di tanganku." Sasuke mengambil gelas di atas nakas, meminumnya dan membiarkan air dingin itu masuk menyusuri tenggorakannya. Berharap sedikit meredakan gejolak dalam dirinya.

Sakura menoleh ke samping, memandang ke luar jendela. "... Kau boleh bermain sepuasmu dengan para wanita. Dan aku tidak boleh meski hanya bercengkerama?"

"Aku bebas, Sakura. Kau yang tidak." Sasuke lagi-lagi menambah desisan di kalimatnya. "Dia berbahaya." lanjutnya, membuat Sakura tertawa sumbang. "Lalu kau tidak berbahaya? Perlukah kusadarkan dirimu, Sasuke? Kau terlihat layaknya para lelaki rendahan yang menikmati dan memperkosa wanita di luar sana!" Sakura menyalangkan matanya, menatap Sasuke tak kalah tajam.

Sasuke semakin mengeraskan rahangnya.

"Kau memperlakukanku layaknya busak seks semata! Hanya boneka yang kau kendalikan dan memberi gelar kehormatan agar tak ada yang berani menyentuhnya! Kau selalu memaksakan kehendakmu kepadaku!"

"Aku suamimu."

Sakura menarik napasnya dalam, menjilati bibirnya yang mengering. "Suami? Suami macam apa yang memperlakukan istrinya seperti ini? Sasuke ... pernahkah kau memperlakukanku layaknya istrimu? Pernah? Tidak."

Lelaki itu selalu meminta haknya, tetapi tak pernah memberikan hak-hak Sakura.

"... Tidurlah." Sasuke akhirnya memilih menghentikan pembicaraan ini. Tidak mau menatap beningan emerald yang ditahan wanita itu kuat-kuat, dia mengejamkan matanya. Meredam keinginan untuk kembali menembaki wanita itu dengan kata-katanya.

Sakura mendengkus, napasnya tak teratur, ditambah dengan mual yang dari tadi ia rasakan meski sempat menghilang karena perdebatan tadi.

Namun, mual itu semakin lama semakin terasa, membuatnya menutup mulut dengan segera menjejakkan kaki ke lantai. Sasuke yang melihat itu menyipitkan mata.

"Ada apa?"

Tetapi alih-alih menjawab, Sakura malah langsung berlari menuju kamar mandi. Memuntahkan isi perutnya yang membuat Sasuke segera melangkah menyusulnya. Secara naluri Sasuke segera memijit leher belakang Sakura, memasang wajah khawatir meski terlihat samar.

Sakura masih terus muntah, semakin menjadi hingga sampai di titik tak ada lagi yang dapat dikeluarkan. Ia merasakan kepalanya yang memberat, sampai-sampai pandangan yang lama-lama menghitam. Mendengar secara samar panggilan terkejut Sasuke terhadapnya.

"Sakura!"






Tbc
(22 Mei 2020)

Sempiternal (sasusaku) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang