Perempuan itu masih mencoba bersikap tenang, memasang mimik wajah datar dengan matanya yang menyorot tajam kepada seorang yang tampak menyatu dalam kegelapan. Seseorang yang sama sekali tak ia sangka bisa datang dan menemuinya ke kemari. Melewati keamanan Kerajaan Api dengan mudahnya dan kini tengah memberi hormat bersama senyuman di wajahnya.
Sakura merapatkan diri di tempat tidur, dia duduk seraya mencengkram selimut yang menutupi sebagian tubuhnya.
"Tuan Putri," Baru saja pria berpakaian kelam itu hendak berdiri dari penghormatan, Sakura telah lebih dahulu menahan dengan memberi isyarat tangan. "Tetap di sana," ucapnya dengan suara yang berat. Tak main-main akan kedatangan kasim ayahnya dahulu. Dia tidak mau gegabah dalam bertindak, perlu mengasah diri dan mempertajamnya di situasi saat ini.
Kasim itu pada akhirnya berdiri utuh, memandang Sakura dari jarak yang lumayan jauh. Tak kunjung melunturkan senyum di bibirnya. "Apakah Putri sudah menentukan jawabannya? Suami Anda tak akan kembali ... saya menjamin itu. Bergabunglah bersama kami, kita ambil kembali."
"Bukankah kalian yang mengambilnya?" Sakura memicingkan mata. "Betapa rendahnya kalian." Dia mendesis.
"Putri, Anda tidak akan dapat gelar itu bila kami tak memutuskan mengambilnya. Anda juga adalah keturunan dari pengambil itu. Jadi ini juga tentang rendahnya Anda." Senyuman yang semakin melebar membuat Sakura menggertakkan giginya.
"Anda menginginkan kebebasan, bukan? Anda ingin membalas dendam Raja. Maka bergabunglah, kita akan berkuasa. Tak akan ada lagi yang mengekang maupun menyakiti Anda. Semuanya akan kembali seperti sedia kala, tanpa lelaki itu, Anda akan menjadi bahagia."
Sakura masih bungkam.
Melihat reaksi Sakura menjadikan pria laruh baya itu mengerutkan dahi, mendapati gurat keraguan yang begitu kentara. "Apa yang membuat Anda ragu, Yang Mulia? Bukankah itu adalah keinginan Anda selama ini? Maka ayo, Anda akan tetap berkuasa."
"Kenapa kau begitu yakin Sasuke tak akan menang?" Tanpa perduli akan ucapan sebelumnya, Sakura malah melontarkan pertanyaan itu. Emerladnya menghujami pria di depannya, membuat pria itu memuji dalam hati. Tentang bagaimana hebatnya Sakura dalam mengintimidasi orang bahkan hanya di bawah tatapannya.
"Kelicikan. Itu perlu," Pria itu mengerjab saat mendengar kericuhan yang semakin mendekat menuju ruangan. Dia melirik anak buahnya yang berada di pintu, tengah mengangguk seraya mempersiapkan diri dengan senjata yang tersodorkan. "Kami mengudarakan racun yang tak terlihat maupun tercium di jalan prajurit Kerajaan Api ke medan perang. Racun itu dapat membuat yang menghirupnya tak sadarkan diri, lalu prajuritku akan datang dan memberantas mereka di tempat." Pria itu tertawa, membalas tatapan Sakura yang sedikit bergerak goyah.
"Keputusan ada di tangan Anda Yang Mulia. Meski dua keputasan itu sama saja menguntungkan Anda, tapi saya bersumpah. Kerajaan ini, akan kembali tumbang. Dan saya yakin sekarang semuanya telah dilakukan." Lalu pria itu pergi, disusul dengan langkah kaki nan gemerisik di belakangnya.
Meninggalkan Sakura yang mencoba mengatur napas dengan gemetaran di seluruh badan.
Apa keputusannya?
•••
"Sial! Kita dijebak!" Uzumaki Naruto berteriak seraya memerintahkan semua yang ada di belakang segera menutup hidung maupun mulut. Kuda-kuda yang ditunggangi mulai jatuh ke tanah dengan tak sadarkan diri, pun kemudian diikuti oleh barisan para prajurit yang berada di garis depan. Naruto sendiri masih mencoba berlari menuju rajanya yang berada di barisan paling belakang, bertugas untuk mengawasi dengan layaknya seekor Alpha di kumpulan serigala.
Lalu teriakan-teriakan dengan bunyi anak panah yang terlempar maupun tertusuk ke badan seseorang terdengar. Seharusnya itu tidak masalah karena semua prajurit Kerajaan Api dipasangkan pakaian yang dapat melindungi diri mereka. Namun, efek dari racun yang tersebar di udara membuat para prajurit satu demi satu tumbang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sempiternal (sasusaku)
FanfictionMereka yang kala bersama saling menghancurkan, tapi ketika berpisah malah terasa amat menyakitkan. Yang pernah saling membunuh dalam perasaan, tetapi tak terealisasi karena cinta telah lebih dahulu menunjukkan kekuasaan. ___________________________...