"Momma, jangan telepon Kulu jam segini. Gimana kalo dia lagi ngajar di kelas? Pasti ganggu banget. Udah, nanti aja nanya nya pas Kulu udah pulang. Gak sabaran banget sih, " cegah Asatya.
"Gak! Tingkat penasaran Momma udah mendarah daging ini. Dadda gak perlu komen!" Rere menggubris perkataan suaminya. Layar ponsel yang menunjukkan nomor putranya itu ia klik.
Berdering
Syukurlah.
Halo Mom? Ada apa?
Kulu, Momma ganggu gak?
Gak tuh, kebetulan Kala lagi ada di ruangan. Jamnya Kala udah selesai. Ada apa Mom?
Maaf banget nak sebelumnya. Mm.. Momma mau tanya soal kalung yang ada di laci kamar kamu. Itu kalung siapa ya?
Momma apaan sih! Kenapa buk--
Iya Momma minta maaf. Cepat katakan, kalung itu punya siapa?
Karina Mom. Memangnya ada apa?
Sekarang juga kamu pulang. Bawa Karina kesini!
Tut.
Panggilan itu ia putuskan sepihak.
Apa katanya? Kalung itu punya Karina? Kenapa ada padanya? Ia yakin kalung itu hanya miliknya. Dilihat dari modelnya sepertinya sudah lama sekali. Apakah Karina ada sangkut pautnya dengan masa lalunya? Ah entahlah. Dari dulu, Rere sangatlah lemah dalam mengingat.
"Momma!! Momma mau, Kulu kita semakin merajuk? Momma tau sendiri kan gimana Kulu? Kalo ada yang mengusik privasinya pasti ngambek."
"Biarin. Dadda tau sendiri kan gimana kalo Momma udah kepo? Udahlah, Momma males ribut hanya gara-gara kalung. Pokoknya, Dadda diem aja!"
Sedangkan di sisi lain, Karina, Samira dan Septa sedang asyik berbincang di kantin sambil menyantap bakso yang menjadi favorit mereka karena harganya ramah di kantong.
"Gue gak habis pikir Ra, Sep. Mau-maunya tuh anak sultan mau sama gue yang cuma anak panti. Coba Sep lo bayangin jadi pak Askala, lo mau sama gue?"
Septa menggeleng, namun kemudian mengangguk, "gak tau ach, bingung. Ekye tuh suka nya sama yang ber otot. "
"Idih anjir si Septa gay!"
"Bukan Samira, maksud ekye tuh sama cewek yang berotot. Supaya kalo ada yang mau jahatin, dia pasang badan buat ngelawan. Begindang!" jelas Septa.
"Untung gue gak berotot. "
"Eh kampret! Gue lagi curhat, kenapa kalian yang berkicau!" Karina memajukan bibirnya. Samira dan Septa saling bertatapan dengan tajam seolah mengatakan, 'ini salahmu!'
Mereka bertiga saling diam selama beberapa menit. Samira yang tak tahan dengan keheningan absurd ini mulai melanjutkan pembicaraannya tadi.
"Sorry ye Rin. Si bencong Septa memang gini. Lain kali, lo jangan minta saran apapun dari dia. Kagak bener! Inget gak yang waktu itu gue pengen banget ke nonton konser ke Korea, Septa malah bilang gini 'jual aja mata lo, kalo ginjal dan jantung sayang, terlalu mehong' gila kan? Masa gue pengen nonton konser harus mengorbankan mata, mau liatnya pake apaan coba? Udah, lain kali minta pendapatnya sama cowok normal aja!" Samira menekan kata 'cowok normal' sambil melirik sinis Septa.
"Eh Samirah! Gue tuh bukan cowok yang gak normal. Gue cuma terinspirasi sama Mimi Peri and Lucinta Luna you know!" suara aslinya keluar bersama urat-urat yang menonjol di kening.
"Eh kembarannya Miper, gak usah ngegas deh--
"Eh, sudah-sudah. Jangan berdebat. Ada masanya saya mengadakan debat mahasiswa, tapi bukan sekarang," suara bariton itu membuat ketiganya menoleh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dear Dosen Killer[Completed✔]
Teen FictionSemenjak berkuliah, Karina selalu berurusan dengan dosen killernya. Semakin ia ingin menjauh, justru dosennya itu malah semakin mendekatinya. Lantas, apakah alasan dibalik sikap aneh dosen killernya itu? WARNING: CERITA INI MURNI KARANGAN AUTHOR SE...