Sudah sebulan sejak Chika dan Vivi memutuskan untuk berpisah, sebenarnya bukan keputusan bersama, melainkan keputusan sepihak dari Chika yang mau tidak mau harus disetujui oleh Vivi.Mereka berdua sama-sama berjuang melewati malam demi malam yang terasa semakin hari semakin menyiksa. Tak ada lagi pesan singkat sebatas menanyakan kabar. Chika mulai menyibukkan dirinya dengan mencoba latihan soal untuk persiapan masuk kuliah.
Tak ada yang dilakukan Vivi selain tiduran, ia lebih memilih untuk tidur daripada terjaga dan kembali merasa bersalah pada Chika.
Namun berbeda dengan yang ia lakukan sore ini, ia duduk di tepi ranjang sambil memangku sebuah gitar yang sudah lama tidak ia mainkan. Ia memetik senar gitar perlahan, mencoba mencari nada pas dari gitar tersebut.
Kau menyiksaku di sini
Dalam rasa bersalah yang kini
Membunuhku secara perlahanLagu tak pernah ternilai milik last child menjadi pilihannya kali ini. Ia merasa jika lagu ini sangat sesuai dengan keadaannya kali ini.
Kau selalu menghindar dari
Aku yang selalu mencoba ungkapkan semua
Lewat tatap mata iniBeberapa kali ia sempat bertemu dengan Chika, tapi selalu saja Chika mencari cara agar menghindarinya. Entah dengan tiba-tiba berlari, memainkan ponsel, pura-pura menelpon, atau yang lainnya.
Ternyata maafmu tak pernah pantas untukku
Kau anggap aku tak ada
Dan kau tak pernah mengenal dirikuSetidaknya diriku pernah berjuang
Meski tak pernah ternilai di matamu
Setidaknya 'ku pernah menanti
Terkapar melawan sepi hatiku
Yang tak pernah bisa berhenti mencintaimuVivi menyanyikan lagu ini sambil matanya terpejam. Ia menikmati setiap detik hancurnya perasaannya. Cinta memang menyakitkan, ya.
Kau menghukum hati ini
Hati yang dulu kau yakini
Takkan pernah kecewakanmuKau memutuskan 'tuk pergi
Belum 'ku sempat memohon dan mengemis
Agar kau tetap di siniBeberapa kali Vivi mendongakkan kepalanya, menahan agar air matanya tidak jatuh di pipinya. Ia menggelengkan kepalanya saat suaranya tidak mencapai nada tinggi.
Ternyata sedalam itu kau benci diriku
Kau anggap 'ku tak terlihat
Meski 'ku tepat di depan matamuJari Vivi berhenti bergerak, suara gitar tak lagi terdengar. Air matanya sudah keluar seolah mengantikan tugas mulut untuk berbicara. Tak ada isakan, air matanya benar-benar turun seperti sudah terbiasa keluar. Lagi-lagi ia merasakan sesak yang menyelimuti dada.
Sebulan telah berlalu, mereka masih mencoba beradaptasi dengan kehidupan baru. Mencoba mengikhlaskan apa yang memang bukan untuknya.
Pintu kamar Vivi diketuk dari luar, buru-buru Vivi menghapus air mata di pipinya lalu berjalan untuk membuka pintu.
"Kenapa mah?" Vivi mengusap kelopak matanya, berpura-pura jika ia baru saja bangun tidur.
"Katanya mau latihan."
Vivi berbalik, melirik jam dinding di dalam kamarnya. Ia menepuk dahinya keras. "Aduh, telat."
Ia langsung berlari, berganti baju dengan cepat, menyemprotkan parfum di pakaiannya. Lalu mengambil tas di atas meja, ia tergesa-gesa keluar kamar sampai ia terjatuh karena tersandung kakinya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pulse
Romance"Aku gak pernah bisa nolak permintaanmu," cerita fanfict Vivi dan Chika. Ada Amel dan Ariel. Ara dan Fiony. Random, mau request siapa boleh Selagi ada bahan, kenapa tidak dieksekusi sekalian?